27/11/09

Nilai Filosofis Pendopo dan Sifat Kepemimpinan

Oleh : Ajeng Nariswari


Budaya adalah perwujudan dari cipta dan karsa manusia, maka dari itu munculnya sebuah kebudayaan seringkali sebagai jawaban atas banyak hal yang menjadi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya budaya yang berwujud falsafah dalam sebuah benda, pada dasarnya merupakan buatan manusia untuk kemudian diterapkan di dalam tiap sendi kehidupan. Falsafah dapat ditemukan dalam banyak benda atau upacara-upacara adat di dalam Masyarakat etnis Jawa khusunya dalam menggambarkan sifat-sifat manusia. Sekilas tentang adat Jawa, biasanya akan kita temui beragam bahasa, rumah adat, bahkan pakaian adat yang memiliki makna dibalik bentuk serta fungsinya. Maka dalam pembahasan ini, penulis ingin memaparkan mengenai Rumah Tradisional Jawa yang disebut Rumah Joglo dengan unsur filosofi yang melekat pada bentuk atau wujud di dalam bagian rumah adat tersebut. Bukan sekedar falsafah, makna yang muncul dari bagian-bagian atau perangkat yang melengkapi Rumah Joglo seringkali diterapkan dalam sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin atau administrator sebagai abdi masyarakat.

Secara khusus pembahasan ini mengetengahkan makna filosofis dari satu bagian rumah adat Jawa (baca : Joglo) yang disebut Pendopo. Konstruksi yang menjadi ciri khas sebuah pendopo adalah sebagai berikut :

1. Di bagian depan, rumah tradisi Jawa memiliki teras yang tidak memiliki atap, dan pendopo (pendhapa) yaitu bagian depan rumah yang terbuka dengan empat tiang (saka guru) yang merupakan tempat tuan rumah menyambut dan menerima tamu-tamunya (Hedy C. Indrani dan Maria Ernawati Prasodjo dalam Tipologi, Organisasi Ruang, dan Elemen Interior Rumah Abu Han di Surabaya).

Dilihat dari fisik bangunan, maka pendhopo tampak sebagai bangunan yang terbuka karena hanya terdapat tiang di keempat sudutnya dan tanpa penyekat. Makna filofis yang terkandung adalah keterbukaan, bahwa seorang pemimpin harus memiliki sifat terbuka. Pemimpin harus menjadi sosok yang terbuka terhadap bawahan, yaitu terbuka pada saran atau masukan yang ditujukan kepadanya. Selain itu, sebagai seorang pemimpin maka sudah selayaknya ia memberi kesempatan kepada bawahan untuk secara fleksible menjadikan dirinya partner yang dapat diajak diskusi dan berkeluh kesah karena keterbukaan yang dimilikinya, jauh dari kesan hierarki yang berlebihan.

Falsafah tersebut sesuai pula diterapkan pada pegawai negeri atau administrator umumnya sebagai abdi masyarakat, dimana ia harus terbuka terhadap kritik yang membangun dari masyarakat serta menjadi tujuan bagi masyarakat untuk meminta pelayanan yang menjadi tanggung jawabnya. Kesimpulannya, pendhopo dengan keterbukaan konstruksinya menggambarkan sifat terbuka, merakyat, dan mudah dijangkau.

2. Masih menurut Indrani, bentuk pendopo umumnya persegi di mana denah berbentuk segi empat selalu diletakkan dengan sisi panjang ke arah kanan-kiri rumah sehingga tidak memanjang ke arah dalam tetapi melebar ke samping.

Bentuknya yang melebar ke samping adalah inti dari makna yang melekat di dalam bangunan pendopo. Sebagai seorang pemimpin atau administrator umumnya, orientasi yang harus dimiliki di dalam menjalankan tugas haruslah condong pada kepentingan lingkungan sekitarnya. Artinya sebagai pemimpin yang memiliki bawahan, sudah selayaknya memperhatikan kepentingan dan kebutuhan komponen-komponen di bawahnya. Dan sebagai seorang abdi masyarakat, maka administrator haruslah peka terhadap lingkungan di sekelilingnya untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Yang terbaik harus dilakukan oleh pemimpin dan administrator secara umum adalah berorientasi pada kepuasan dan pelayanan pada lingkungan sekitarnya (dilambangkan dengan bangunan yang melebar ke samping kanan dan kiri), yang berarti tidak hanya condong terhadap kepentingan organisasi (dilambangkan dengan bangunan pendopo yang tidak memanjang ke arah dalam).

3. Pendopo biasanya dibangun lebih tinggi dari halaman dan di dalamnya hanya beralas tikar untuk duduk bersila dan bercakap-cakap (Tim Wacana Nusantara dalam artikel Filosofi Rumah Tradisional Jawa).

Untuk mencapai bangunan pendopo, maka seseorang harus naik terlebih dahulu karena letaknya yang lebih tinggi dari halaman dan tuan rumah menemui tamu yang datang di dalam pendopo tersebut. Pendopo yang terletak lebih tinggi dari halaman, berarti bahwa seorang pemimpin dan administrator haruslah menempatkan bawahan dan masyarakat umum dalam posisi yang sama tinggi dengannya. Artinya pendhopo dengan konstruksi yang terpisah dan lebih tinggi dari halaman bermakna menghargai dan memandang orang lain sama dengan dirinya di luar jabatan atau kedudukan secara formal.

Dalam adat Jawa, pendopo biasanya tidak memiliki kursi dan siapapun yang berada di dalamnya harus duduk bersila di lantai beralas tikar. Makna yang melekat adalah kebersahajaan. Ketika tamu datang dan tuan rumah menemuinya, maka semua orang otomatis akan duduk bersama di bawah tanpa ada yang menempati posisi lebih tinggi dari lainnya. Maka sudah barang tentu, sebagai seorang pemimpin dan administrator seyogyanya sifat sederhana dan bersahaja diutamakan sebagai upaya penghargaan terhadap orang lain yang mungkin memiliki kedudukan formal yang lebih rendah.

Hidayatun dalam bukunya Pendopo dalam Era Modernisasi: Bentuk, Fungsi, dan Makna Pendopo pada Arsitektur Jawa dalam Perubahan Kebudayaan menuliskan bahwa bentuk salah satu ruang dalam rumah tradisi Jawa tersebut memperlihatkan adanya konsep filosofis tentang makna ruang yang dalam dimana keberadaan pendopo sebagai perwujudan konsep kerukunan dalam gaya hidup masyarakat Jawa. Pendopo tidak hanya sekedar sebuah tempat tetapi mempunyai makna filosofis yang lebih mendalam, yaitu sebagai tempat untuk mengaktualisasi suatu bentuk/konsep kerukunan antara penghuni dengan kerabat dan masyarakat sekitarnya Dari konstruksi dan letak bangunan, pendopo merupakan aplikasi sebuah ruang publik dalam masyarakat Jawa.

Maka kesimpulan akhir yang dapat menjelaskan keterkaitan antara konstruksi pendopo dengan sifat-sifat kepemimpinan serta administrator yang harus dimiliki adalah sifat keterbukaan, berorientasi pada kepentingan dan kebutuhan lingkungan sekitar, menghargai orang lain, dan bersahaja serta adaptive menyesuaikan dengan kondisi yang ada di sekelilingnya. Secara umum, pendopo adalah satu bangunan yang menjadi tempat berkumpul atau ruang publik, artinya pemimpin dan administrator secara umum juga harus mampu menjadi individu atau instansi yang merakyat dan memiliki keterbukaan dan kedekatan hubungan dengan kedudukan di bawahnya maupun masyarakat pada umumnya.

02/11/09

Masyarakat Pesisir di Tengah Stigma Negatif Kecenderungan Terhadap Prostitusi

Oleh :A. Ajeng Nariswari

Masyarakat Pesisir secara geografis adalah masyarakat yang mendiami daerah atau wilayah kebudayaan yang pendukungnya adalah masyarakat yang proses sosialisasinya berada dan tinggal di sepanjang daerah pantai utara pulau Jawa, yang dikenal dengan tiyang pesisiran (Mudjahirin Thohir dalam Eksistensi Budaya Pesisiran Pada Era Globalisasi).

Sebagai negara maritim Indonesia memiliki kekayaan perairan yang amat luas, dari ujung Sumatra hingga Papua tak lepas dari deretan perairan yang menjadi mata pencaharian serta tempat tinggal masyarakat pesisir. Tak terkecuali daerah Pantura Pulau Jawa yang akan menjadi lokus dari tulisan ini. Pantai Utara Pulau Jawa yang diantaranya mencakup sebagian wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan daerah yang terkenal sebagai penghasil kuliner laut. Sebut saja diantaranya udang ebi dan terasi udang dari Cirebon dan sekitarnya, kemudian ada kerupuk kulit ikan serta makanan ringan lainnya dari daerah Batang dan Semarang. Satu keuntungan lain yang dimiliki kabupaten/kota di daerah pesisir adalah potensi alamnya yang mampu menambah PAD melalui wisata bahari. Lihat saja, dari mulai Pantai Widuri, Pantai Purwahamba, Pantai Sigandu, Pantai Ujung Negoro, hingga Pantai Pelabuhan di Semarang serta banyak pantai lainnya berderet di sepanjang Pulau Jawa.

Secara umum keindahan pantai merupakan kekayaan alam serta kekayaan real bagi wilayah administratif yang memilikinya. Namun tak ubahnya sebuah sisi mata uang, ada satu bagian yang berlainan dengan bagian lainnya. Demikian pula daerah pesisir, ketika sebuah potensi alam dikembangkan menjadi daerah wisata oleh pemerintah setempat, maka ada kompensasi yang menyertainya. Modernisasi yang terjadi di sekeliling daerah pantai, sebut saja fasilitas penginapan, jalan, rumah makan serta banyak fasilitas pendukung lain mengundang masyarakat dari berbagai tempat untuk datang dan mengadu nasib. Banyak pendatang yang memenuhi wilayah pesisir hanya untuk sekedar berbagi sepetak rumah dengan penduduk lainnya. Akibatnya akulturasi budaya terjadi antara pendatang dan penduduk asli, termasuk pula bercampurnya kebiasaan atau budaya ‘miring’ yang dibawa satu sama lain.

Berangkat dari budaya ‘miring’ yang disebut sebelumnya, Prostitusi adalah satu kata yang sering kali erat dengan daerah pesisir. Budaya keras, terbuka, dan bebas yang dimiliki masyarakat pantai bisa jadi mendukung berkembangnya komoditas sex ini. Seperti sudah disebutkan bahwa komersialisasi sex ini tidak hanya berasal dari penduduk asli, namun juga dibawa oleh pendatang. Jika kita mengamati daerah di sekitar pantai, maka seringkali disamping rumah makan yang berderet juga terdapat rumah-rumah atau warung-warung di sepanjang jalan yang menjajakan bisnis prostitusi. Tulisan saya tidak bermaksud menggeneralisasikan semua daerah pantai di Indonesia sebagai sarang prostitusi. Namun hanya sebagai gambaran bahwa bisnis prostitusi seringkali mengiringi kemajuan daerah pesisir di Indonesia. Sebagai contoh adalah daerah pantai utara Pulau Jawa yang mencakup banyak kabupaten/kota di sekitarnya. Tak saya pungkiri bahwa di kabupaten dimana saya berasalpun tidak lepas dari bisnis ilegal tersebut, terutama di daerah pantai yang kini telah berkembang menjadi objek wisata. Namun yang cukup melegakan pemda setempat ternyata merasa gerah juga dengan semakin membanjirnya perkampungan liar yang disinyalir sebagai area prostitusi. Hingga pada akhirnya dilakukan pembersihan di sekitar lokasi pantai dengan maksud mencegah penyebaran penyakit menular HIV/AIDS. Satu kasus tersebut saya sertakan sebagai gambaran dari nyatanya komoditas sex tersebut terutama di sekitar daerah pesisir. Pemerintah bukannya menutup mata, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa bisnis semacam itu tidaklah mudah diberantas sampai ke akarnya. Upaya untuk kembali menyirami bibit-bibit prostitusi akan selalu dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mendapat keuntungan dari bisnis tersebut.

Uraian di atas saya katakan sebagai faktor makin eratnya stigma negatif yang menyertai keberlangsungan kehidupan masyarakat pesisir. Sehingga ada kalanya masyarakat kota/kabupaten di daerah pesisir yang tinggal jauh dari daerah pantaipun mendapat imbas dari stigma negatif tersebut.

Berangkat dari realita yang kini kita hadapi, fakta sejarah justru menunjukkan hal yang sangat berlawanan. Dari Masa Kerajaan, wilayah Pesisir merupakan pusat penyebaran agama Islam yang dibawa oleh pedagang dari berbagai belahan dunia, termasuk dari Gujarat yang membawa paham keagamaan tersebut. Disamping itu warna religiusitas sebenarnya juga melingkupi masyarakat pesisiran sejak masa Kerajaan hingga saat ini. Misalnya kita kenal kehidupan santri yang bernaung di bawah ormas-ormas yang berbasis agama. Justru di daerah pesisir seringkali kebudayaan tersebut mengakar dan menjadi nilai yang dianut oleh sebagian masyarakat. Lepas dari kecenderungan budaya kejawen dan semacamnya yang mensakralkan hal-hal tertentu di daerah pesisir, masyarakat pesisir juga sebenarnya masih menjiwai budaya ketimuran yang erat dengan norma agama serta pemahaman anti Budaya Barat. Namun dampak yang muncul akibat pemahaman tersebut, dikatakan oleh Mudjahirin Thohir bahwa anti Baratisme menjadikan masyarakat pesisir dahulu hanya terpaku pada upaya mempertahankan budaya aslinya tanpa ada inisiatif untuk maju karena kecurigaan mereka terhadap budaya Barat. Sehingga akibat yang paling nyata adalah muncul kerentanan sosial dan ekonomi pada masyarakat pesisir yang menjadikan mereka tidak memiliki pegangan kuat dalam aspek ekonomi khususnya.

Faktor bawaan sejarah tersebut bisa jadi masih menjiwai kehidupan masyarakat pesisir dewasa ini, namun sayangnya yang tersisa bukanlah basis agama serta keyakinan yang kuat, namun kerentanan sosial ekonomilah yang justru mencitrakan masyarakat pesisir kini. Sebagai implikasi dari kondisi rentan tersebut sudah dapat ditebak, bahwa masyarakat melakukan siasat apapun untuk bertahan hidup dengan sumber-sumber pendapatan yang minim. Artinya dalam situasi terdesak, masyarakat cenderung beralih ke sumber-sumber ekonomi yang ada di sekelilingnya, seperti bertani, berkebun dan berternak. Jika semua komoditas tersebut tidak lagi dimiliki, maka yang dikhawatirkan masyarakat akan beralih pada sumber pendapatan lain dengan mengkomersialkan tubuhnya sendiri melalui bisnis prostitusi.

Realita yang menyesakkan tersebut tampaknya berangkat dari akar masalah yang kompleks, bukan hanya dari sisi pemenuhan akan kebutuhan ekonomi. Beberapa alasan berikut mencoba mengurai benang kusut dari polemik yang muncul di tengah masyarakat pesisir mengenai ‘kewajaran’ bsinis prostitusi.

1. Masyarakat pesisir Indonesia yang berprofesi sebagai nelayan menempati strata sebagai masyarakat golongan ekonomi menengah kebawah, sebab yang logis adalah sebagian besar nelayan Indonesia hanyalah buruh nelayan atau nelayan tradisional yang kalah bersaing dengan banyak nelayan modern lainnya dari luar negeri. Keberadaan mereka tetap mendominasi meskipun pendapatan yang diperoleh tidaklah lebih banyak dari nelayan modern yang berjumlah lebih sedikit. Dari kondisi serba kekurangan tersebut, upaya untuk survive dalam kehidupan memaksa mereka mengikuti arus di lingkungan pesisir yang melegalkan prostitusi. Jika tidak sebagai penyedia wanita sebagai komoditas utama dalam bisnis ini, maka ada kalanya rumah atau kamar-kamar sempit menjadi investasi tak ternilai harganya dalam bisnis haram ini. Kondisi ekonomi, lingkungan, keterbatasan sumberdaya, menjadi kombinasi yang klop dalam menyuburkan prostitusi.

2. Solidaritas, menjadi sangat kental di bidang ini dengan melihat langgengnya bisnis prostitusi di tengah masyarakat pesisir. Durkheim dalam bukunya “The Division of Labor in Society” (1968) dalam Sunarto (2000 : 132) menunjukkan solidaritas macam apa yang terjadi di tengah masyarakat pesisir tersebut. Ketika di tengah masyarakat tercipta suatu kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan persamaan kelompok, maka muncul ikatan yang disebut kesadaran kolektif atau hati nurani kolektif (collextive conscience) sehingga tercipta struktur masyarakat yang tidak menghendaki perbedaan (solidaritas mekanik). Dari penjelasan tersebut menjadi beralasan jika akhirnya prostitusi tumbuh subur di tengah masyarakat pesisir yang telah memiliki ‘kesepakatan bersama’ akan adanya bisnis sex tersebut di dalam lingkungannya. Akibatnya tidak ada pihak dari dalam lingkungan tersebut yang akan memiliki inisiatif di luar dari jalur yang telah berlaku di dalam kelompok masyarakat dimana ia bermukim.

3. Masyarakat pesisir bagaimanapun kondisinya bukanlah masyarakat yang bodoh dan tidak peka terhadap lingkngan eksternal di sekelilingnya. Keberpihakan yang kurang dari bidang akademis untuk mengulas masyarakat pesisir dan sosialisasinya, minimnya kebijakan pemerintah yang berpihak pada masyarakat pesisir, serta yang paling menyentuh kehidupan mereka adalah ketika supremasi hukum belum benar-benar memberi kelegaan kepada masyarakat pesisir tradisional berkaitan dengan minimnya penindakan kepada nelayan modern yang menggunakan teknologi terlarang dalam penangkapan ikan, menjadikan masyarakat pesisir tradisional rentan untuk bersikap apatis terhadap negara. Selanjutnya dampak yang dipastikan muncul dari kondisi-kondisi tersebut adalah tumbuhnya jiwa keras dari masyarakat pesisir dengan terus melakukan bisnis dan tindakan ilegal yang nyata dilarang oleh pemerintah dan norma sosial, sebagai wujud pembangkangan atau pemberontakan dari rel lurus yang berlaku di dalam kehidupan bernegara.

Konsekuensi dari negara multikultural tidaklah mudah untuk ditelaah, banyak aspek dan latar belakang yang menjadi pendukung berkembangnya sebuah masalah sosial. Pemerintah bukanlah satu-satunya pihak yang bersalah dalam hal ini, keterbatasan sumber daya dan kapasitas yang dimiliki menjadikan pengelolaan terhadap potensi bahari dan masyarakat di sekelilingnya belum dapat mengentaskan masyarakat pesisir dari kubangan kemiskinan dan stigma negatif yang membayangi. Begitu pula dengan budaya yang bermukim di tengah masyarakat pesisir, keterbukaan informasi dan akulturasi kebudayaan yang mengelilingi kehidupan manusia dewasa ini seringkali menjadi ‘inisiatif’ terselubung yang mengawali jalan berliku sebuah bisnis prostitusi.