04/09/09

“Terimakasih” Malaysia

Luka lama itu kembali engkau buka, sebuah kenangan pahit yang tak mudah pupus dari ingatan kami. Dua tahun lalu, ketika Reog engkau ‘anggap menjadi milikmu’ kami berontak, rakyat Ponorogo turun menyuarakan aspirasinya dengan sengit dan berani. Engkau tahu karena apa? Ya, karena kami merasa identitas yang telah mendarah daging kami miliki akan terpaksa hilang karena kesewenang-wenanganmu. Jangan sangka kami tidak tahu, ketika berbagai dalih engkau lontarkan untuk membela tanah airmu tercinta dari klaim yang tidak bertanggung jawab ini kami bukannya diam, kami berpikir dan bergerak teratur menyusun kekuatan untuk kembali menyuarakan keprihatinan. Jangan sangka kami lupa, ketika dua tahun telah berlalu hingga hari-hari terakhir ini muncul kembali nama-nama khas yang erat dalam ingatan kami, wayang, angklung, batik, keris, dan semoga yang terakhir adalah Tari Pendet. Bukan pekik kegirangan yang kami suarakan, bukan pula kebanggaan karena nama-nama itu kembali berlaga di kancah internasional. Hanya rasa kecewa, marah, dan entah perasaan apa lagi yang layak kami ungkapkan kepada engkau saudara serumpun kami, Malaysia.

Sudah berapa kali engkau membuat kami kecewa, bahkan sudah berapa kali kami menahan amarah demi apa yang mereka sebut sebagai upaya menjaga stabilitas nasional. Malaysia, betapa mungkin engkau lupa rasanya memiliki sesuatu yang berharga hingga akhirnya benda berharga tersebut direbut tanpa kami bisa berbuat apapun untuk menahannya. Mungkin betapa engkau telah benar-benar lupa bagaimana rasanya memiliki dan memelihara sesuatu hingga sesuatu itu menjadi lekat dalam kehidupan kami, Bangsa Indonesia. Memang, tidak semua dari kami peduli dengan apa yang kini engkau ‘anggap menjadi milikmu’, dan tidak pula banyak orang Indonesia yang benar-benar merasa kehilangan akan semua yang engkau ‘anggap menjadi milikmu’ itu. Tapi dengarkan suara kami, dan rasakan betapa kehilangan menyadarkan kami akan sesuatu yang selama ini kami miliki. Kehilangan yang terjadi karenamu seolah menghentak jiwa-jiwa kami untuk kembali menyuarakan penolakan atasmu. Kami memang berbeda darimu, walaupun banyak fakta menunjukkan bahwa kita serumpun. Kami memiliki identitas sebagai Bangsa besar dengan kebudayaan yang beraneka ragam, kami memiliki kepercayaan akan tanah tumpah darah kami, dan kami menjaga dengan hati-hati warisan leluhur kami. Sebagai bangsa yang besar, mungkin kami mengetahui lebih banyak dari apa yang tidak engkau ketahui, dan mungkin juga kami harus mengajarkan sesuatu kepada engkau, bahwa sebagai saudara serumpun ada sebuah tata krama yang hendaknya engkau pahami. Bagaikan perlakuan seorang adik kepada saudara kandungnya, tidakkah engkau merasa harus lebih bertindak sopan dan bijaksana kepada kami. Tidakkah engkau tahu ada etika yang harus dijalankan jika seorang saudara ingin ‘meminjam’ apa yang dimiliki saudaranya. Kita berbeda, namun tampaknya kita memiliki kebanggaan yang sama akan sebuah hal. Seharusnya kami tersanjung, karena ternyata engkau turut bangga dengan apa yang kami miliki, bahkan engkau ‘mendahului’ kami untuk memperlihatkan kepada dunia kekayaan yang kami miliki. Namun cobalah berpikir terbuka, pilah dan akui realita yang ada bahwa itu semua milik kami Bangsa Indonesia. Apa engkau telah kehabisan ide untuk bisa berinteraksi dengan kami tanpa harus membuat kami marah ? atau apakah sebenarnya ini hanya salah satu usahamu untuk mendompleng nama besar kami, Bangsa Indonesia ? kami menghargai apa yang engkau miliki, dan kami tidak berusaha mencaplok milik saudara kami sementara kami bahkan memiliki lebih banyak dari apa yang engkau punyai. Kami tidak berpikir sedikitpun untuk bertindak seperti apa yang engkau lakukan kini terhadap kami. Karenanya, tak habis kami berpikir mengapa tindakan serendah itu terpikir olehmu, saudaraku?

Namun ada satu pengakuan yang ingin kami sampaikan kepada engkau saudara serumpun kami. Terima kasih atas perlakuanmu terhadap kami, terimakasih atas pengakuanmu terhadap semua yang menjadi milik kami. Berkatmu, kini kami memiliki rasa persatuan yang lebih kuat, karenamu kini sebagian besar dari kami merasa memiliki satu pandangan yang sama kepadamu. Dan hanya karenamu Malaysia, kini kami memiliki tekad yang lebih kuat untuk menjaga kedaulatan tanah air kami dari pihak-pihak luar sepertimu yang sangat kami hindari. Terima kasih Malaysia, klaimmu atas kami memberikan bukti bahwa banyak pihak di luar sana yang mungkin memiliki keinginan yang kuat untuk memiliki apa yang juga kami miliki. Semua ini membuat kami berpikir bahwa semua yang kami miliki berharga, dan semua ini mengingatkan kami bahwa kami satu bangsa dan tidak akan tinggal diam melihat Malaysia-malaysia lain yang mungkin telah mengarahkan target perburuannya di negeri kami tercinta.
30082009

3 komentar:

  1. Weits Jeng bagus tulisannya, tapi coba deh berpikir diluar frame berpikir yang diarahkan oleh media massa.

    masalah Indonesia-Malaysia adalah masalah kesalahpahaman. mungkin sebagian Bangsa Indonesia akan merasa tersinggung ketika mendengar kabar bahwa Malaysia "Mencuri" budaya kita, namun perlu diketahui bahwa suku bangsa di Malaysia pun hampir sama dengan suku bangsa di Indonesia. Persamaan bukan sekedar dalam hal satu rumpun melayu, tetapi lebih dari itu.

    Di Malaysia juga ada orang Jawa, yang jumlahnya lebih dari 1 juta orang, dan mereka bukan TKI namun mereka adalah keturunan orang Jawa yang hijrah ke Malaysia jauh sebelum Indonesia dan Malaysia Merdeka. Aku juga penya teman beberapa orang Malaysia yang berasal dari suku Jawa. Sebagaimana sebuah komunitas, ketika mereka hijrah ke Malaysia puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu mereka juga membawa budaya mereka ke Malaysia termasuk batik dan reog.

    Tapi bukan hanya suku Jawa. Salah satu negara bagian di Malaysia ada yang bernama Negeri Sembilan, kenapa bernama Negeri Sembilan karena di sana ada sembilan Nagari yang dibentuk oleh suku Minangkabau yang hijrah dari Sumatera Barat setelah Perang Paderi 1837, dan mayoritas penduduk di sana merupakan suku Minangkabau. ada juga Sultan di beberapa kesultanan di Malaysia yang merupakan suku Bugis bahkan Menteri Luar Negeri Malaysia merupakan suku Bugis,,

    Jadi Indonesia-Malaysia bukan hanya negara satu rumpun. Namun kenyataannya kita adalah satu bangsa besar bernama Bangsa Melayu yang kemudian memiliki banyak sub-sub kebudayaan. Jika kita mendalami sejarah kita akan melihat bahwa sebelum 1945 Indonesia dan Malaysia termasuk Singapura, Brunai dan Patani dianggap satu kesatuan teritorial walupun dikuasai oleh penjajah yang berbeda. Dulu sebelum nama Indonesia, Malaysia dan sebagainya dikenal telah terlebih sahulu dikenal istilah Melayu Raya atau Nusantara.

    Bahkan ketika Indonesia merdeka pun, orang-orang Melayu di Malaysia mendukung dan berkeinginan bergabung dengan Indonesia. Hal yang sama juga diusulkan oleh sejumlah politisi di BPUPKI seperti Mohamad Yamin, bahkan oleh Soekarno sendiri. Namun sebagaimana yang dikatakan oleh Prof Dr. Nik Anuar ada kuasa besar yang mencegah berdirinya Melayu Raya. Sehingga jadilah Nusantara dipecah menjadi beberapa negara.
    Paska dipecahnya itulah kemudian kurikulum di berbagai institusi pendidikan diubah sehingga seakan - akan Indonesia dan Malaysia merupakan dua bangsa yang berbeda. Padahal jika kita bertanya kepada kakek dan nenek kita mereka yang masih ingat akan mengatakan bahwa dulu hingga tahun 1930 an kurikulum masih mengajarkan bahwa Indonesia dan Malaysia merupakan satu bangsa dan satu kesatuan teritorial.
    Maka jangan salahkan jika orang Malaysia kemudian menganggap orang Indonesia lebih rendah karena mereka diajarkan bahwa kita bukan lagi satu bangsa dan juga karena dampak tindakan segelintir oknum WNI yang berlaku buruk di Malaysia. Dan bisa kita lihat juga di Indonesia bagaimana bangsa kita gampang terpancing oleh provokasi media sehingga kita mencaci dan menghina saudara kita sesama Melayu.

    BalasHapus
  2. Satu lagi fenomena yang perlu diperhatikan adalah keinginan pemerintah Malaysia untuk memperkuat budaya dan identitas Melayu sehingga menjadikan pemerintah mendukung seluruh bentuk kebudayaan Melayu yang ada di Malaysia termasuk budaya yang dibawa oleh berbagai suku dari Indonesia. Proporsi orang Melayu di Malaysia yang hanya berjumlah kurang lebih 60 % menjadikan orang Melayu tidak dominan mutlak sehingga pemerintah Malaysia berusaha menegaskan dan menguatkan identitas kebudayaan Melayu.

    Dari masalah ini bisa diketahui karakteristik masyarakat kita yang emosional dan reaktif. ya masyarakat kita sangat mudah dipermainkan emosinya dan sangat mudah serta cepat dalam merespon suatu hal. Jika kita bisa menghadapi masalah ini dengan kepala dingin tentunya akan lebih baik. Masalah kesamaan budaya bukan hanya masalah di Indonesia di berbagai negara pun ada masalah yang sama, namun sangat jarang masalah tersebut mengganggu hubungan antara dua negara bertetangga. Mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia belum cukup "dewasa" untuk dapat menyelesaikan masalah budaya dengan solusi yang lebih "berbudaya" dan bukan dengan emosi semata.

    Wah dah kepanjangan nih Jeng komennya. Tp cukup bagus tulisannya, hanya coba pake "kacamata" yang berbeda2 untuk memandang suatu masalah sehingga setidaknya kita bisa mendapatkan gambaran yang hampir mendekati kebenaran. Dan jangan sampai "kacamata" yang kita pakai justru mendistorsi pemahaman kita ttg fenomena yang kita amati,, keep posting deh,, (Rendy AN 2006)

    BalasHapus
  3. baru ketauan ada comment nyangkut...maap mas, tapi mksih bgt sdah berkenan mampir..

    sebenarnya postingan di atas (bener kata mas..) saya buat atas dasar emosi..dan mgkin pikiran pendek krn pengaruh media...klaim budaya dan masalah teritorial yg menempatkan malaysia sbg tokoh utama sebenarnya mmg mengganggu pikiran saya..mau gimanapun asal usulnya, budaya dan pulau-pulau yg telah terklaim tetep saja punya kita..bagaimana sampai akhirnya sampai di malaysia tetep saja diruntut akhirnya dibawa oleh org indonesia..sekilas cukup bisa dibuktikan bahwa klaim malaysia tdk berdasar..

    tapi mgkin bisa dlihat dr sisi lain,ketika fakta sejarah mengatakan bhwa ada upaya menyatukan malaysia dg indo pada masa kemerdekaan kita, apakah upaya tsb langgeng kalo pada kenyataannya soekarno sendiri nyata2 tercatat sbg presiden paling getol menyuarakan penolakan atas malaysia dg ganyang malaysianya..masalah kolonialisme barat yg tidak disukai indonesia ktika itu mjd satu alasan jelas penolakan atas malaysia yg bergabung dg inggris..
    konflik yg tercatat mau ga mau mmg membekas hingga akhirnya mempengaruhi cara pandang kita kpd malaysia..konflik perbatasan, kepmilikan pulau dan ambisi malaysia mengejar kebulatan etnis melayunya mjdkan bangsa lain kurang bersahabat memberi tanggapan atas tindakan malaysia..
    kalau dikatakan bahwa pemerintah malaysia getol menguatkan identitas kebudayaannya sendiri..mgp harus mengambil kebudayaan yg dibawa dr luar (yg dikatakan dibawa oleh org jawa dan minangkabau)..
    malaysia punya catatan buruk ttg maslah etnis di negerinya, ttg diskriminasi etnis non melayu (india dan cina)..jadi tdk bisa disalahkan kalau pada akhirnya hal tsb membatasi pandangan org terhadap fakta historis kalau fakta di depan mata menunjukkan bahwa malaysia memiliki ambisi me-melayukan seluruh negerinya dg cara2 yg mengarah pada ketidakadilan thd etnis lain..jadi berkaitan dg indonesia, sedikit bnyk bangsa kita sdh cukup dikecewakan dg tindakan malaysia tsb yg pada akhirnya terkumpul pada sebuah generalisir kondisi dibawah emosi..
    dunia internasional jga tidak bodoh,kalau benar fakta sejarah mmg berphak pada malaysia sbg pemilik kebudayaan2 tsb, mgp pada akhinya unesco memihak indonesia sbg pemilik sah batik dan wayang..kalaupun sesungguhnya mslh perbatasan bukan hal yg perlu dikhawatirkan,knp pada akhirnya RI sbg negara yg besar menurunkan kapal perangnya untk menjaga kedaulatan kita di pulau-pulau terluar..

    saya sepakat bahwa sebuah mslh pasti ada bnyk frame untuk memandangnya..hehe, bu ambar juga pernah bilang jangan sekali kali kita berpikiran sebatas kacamata kuda saja tanpa melihat fakta atau persepsi lainnya..
    tapi untk masalah ini,berteriak kencang mengikuti arus kontroversial melawan malaysia sepertinya sah-sah saja..kedaulatan kita akan menjadi mainan mereka kalau kita terlampau tenang menyikapinya..yg jelas tetap damai, kedaulatan tdk harus direbut dg pertumpahan darah..

    jgn bosen mampir lagi mas.. :)

    BalasHapus