07/12/09

Dominasi vs Diskriminasi Etnis di Myanmar

Myanmar dan Malaysia mungkin tidak jauh berbeda, bukan dari potensi ekonomi atau sistem pemerintahannya namun dua negara tersebut memiliki kemiripan dalam perlakuan terhadap suku minoritas. Walaupun dalam kajian ini, Myanmar tampak lebih represif dalam memerangi suku minoritas di wilayahnya dengan pertikaian bersenjata dan semacamnya. Konsep yang melingkupi konflik antar kelas dan antar golongan ini lebih condong pada pihak yang pro demokrasi vis a vis pihak yang mengabaikan demokratisasi.


Berbicara mengenai suku minoritas di Myanmar, sudah barang tentu pembahasan mengenai kaum oposisi, junta militer, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia sulit untuk dilepaskan. Masyarakat dunia sudah paham, dimana Myanmar diberitakan seringkali kabar tak sedap diperdengarkan. Misalnya ketika Malaysia mengutuk tindakan pembunuhan ratusan ribu muslim Rohingnya di Myanmar, atau ketika banyak tindakan radikal lainnya yang seringkali dilakukan oleh Junta militer Myanmar dalam upaya penangkapan dan pembersihan politik domestik dari unsur-unsur oposisi. Semua kasus tersebut bermuara pada satu masalah besar yang hingga kini kerap menjadi kritik barat terhadap ASEAN berkenaan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Namun ketika prinsip ‘tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain’ menjadi semacam batasan atau penghalang bagi negara lain untuk ikut andil dalam menyelesaikan masalah di Myanmar, maka masalah tersebut seolah kian melebar dan menjadikan kaum oposisi di Myanmar sebagai bulan-bulanan yang tak terelakkan dari militer nasional Burma.


Berangkat dari kondisi yang rentan tersebut, pada dasarnya akan ditemukan bahwa masalah yang krusial menyangkut persoalan instabilitas Myanmar adalah keragaman etnis, budaya, dan agama di tengah dominasi etnis Burma sebesar 69 % dari seluruh penduduk Myanmar. Faktor inilah yang paling banyak menyedot energi politik dan ekonomi pemerintah pusat yang akhirnya melahirkan kebijakan Burmaisasi kelompok-kelompok etnis yang ada (Bambang Cipto MA, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, h. 159).


Menurut Allan Collins, kondisi tersebut tak terelakkan mengakibatkan perlawanan fisik dan militer dari etnis-etnis minoritas yang menentang dominasi Etnis Bamar (Etnis Burma), mereka menentang prospek penghapusan budaya mereka sendiri oleh rejim militer Burma. Salah satu etnis minoritas yang paling gencar melakukan perlawanan adalah Suku Karen. Pembentukan Karen National Union (KNU) pada tahun 1947 mengakibatkan perlawanan semakin tampak nyata. Apalagi ketika Suku Karen melebarkan sayapnya dalam wujud Karen National Liberation Army (KNLA). Masih menurut Bambang Cipto, kondisi tersebut tidak berarti bahwa etnis minoritas lain hanya diam berpangku tangan, selanjutnya pada tahun 1976 beberapa kelompok minoritas bergabung dalam sebuah persekutuan militer, NDF (National Democratic Front) yang bertujuan membela diri dari tekanan militer pasukan pemerintah Burma. Kondisi tersebut sebenarnya wajar, mengingat pembatasan gerak oleh Pemerintah Burma pada kaum oposisi bahkan hingga aspek pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Tidak seperti kebanyakan negara-negara di Asia Tenggara, yang mungkin bekerja dengan pemerintahan nasional dan mendukung Pendidikan Untuk Semua [PUS] bagi kelompok pribumi, kediktatoran militer Birma secara gencar melarang banyak kelompok pribumi dan program-program pendidikan mereka. Hal ini memiliki implikasi yang besar bagi kelompok seperti Karen dalam hal mengakses dan merasakan pendidikan (Naw Ler Htoo, Scott O’Brien dan Ian Kaplan, dalam Pendidikan Guru di Wilayah Karen, Birma [Myanmar]). Bahkan kondisi tersebut diperparah dengan adanya sistem yang menolak mengajarkan bahasa, sejarah dan budaya Karen di sekolah-sekolah formal. Tantangan tersebut tampaknya justru menimbulkan inisiatif dan intuisi bertahan hidup bagi Suku Karen dengan memanfaatkan celah-celah yang ada melalui pembentukan organisasi-organisasi yang mengedepankan pemenuhan kebutuhan dasar Suku Karen, salah satunya melalui Kelompok Kerja Guru Karen (KTWG).


Menanggapi kemajuan yang seolah telah diupayakan sendiri oleh Suku Karen, justru tindakan radikal seringkali menjadi rutinitas yang dilakukan oleh Pemerintah Birma. Yerry Nikholas Borang, dalam Junta Militer Myanmar Gempur Suku Minoritas aksi yang muncul selalu disertai pelanggaran hak asasi manusia berupa pembunuhan rakyat sipil, pemerkosaan, penghancuran tanaman, dan penculikan untuk kerja paksa. Pemerintah Myanmar juga menerapkan pemaksaan relokasi bagi Suku Karen dari daerah adatnya. Upaya ini dilakukan untuk memadamkan perang gerilya Karen National Union dan kelompok gerilya suku-suku minoritas lain. Jika menengok kondisi yang sangat tidak bersahabat dengan kaum oposisi tersebut, sebenarnya muncul satu pemahaman bahwa di dalam Myanmar kaum elit yang disebut SLORC (State law and Order Restoration Council) terobsesi oleh keinginan untuk selalu memelihara dan mempertahankan persatuan dan kedaulatan negara di atas segalanya dengan tidak mentolerir pandangan alternatif terhadap konsep dasar keamanan Myanmar. Maka secara otomatis kondisi tersebut menutup kemungkinan munculnya kaum oposisi yang selalu bergerak menuntut keterbukaan dan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Myanmar.


Dalam artikel Tentara Tuhan Masih Bergerilya di Myanmar dikatakan bahwa untuk menghadapi gempuran yang terus menerus dari Pemerintah Birma menyangkut keberadaan Suku Karen di daerah pedalaman dan perbatasan Myanmar-Thailand, sebagai perlawanan muncul Gerilyawan suku Karen yang telah berjuang merebut hak otonomi dari pemerintah Myanmar sejak 53 tahun silam. Suku Karen atau dikenal juga dengan sebutan Tentara Tuhan muncul sejak Myanmar merdeka dari Inggris pada tahun 1948. Perpecahan atau sebenarnya dapat disebut pula dengan perang saudara tersebut tampaknya akan terus menjadi perang dingin atau bahkan akan awet menjadi perang terbuka meskipun Myanmar pernah mendeklarasikan telah melakukan perjanjian perdamaian dengan Kaum oposisi pada pertengahan tahun ini.

DAFTAR PUSTAKA

Borang, Yerry Nikholas. 2007. Junta Militer Myanmar Gempur Suku Minoritas (http://www.vhrmedia.com). 7 Desember 2009.

Cipto, Bambang. 2007. Hubungan Internasional di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Scott O’Brien dan Ian Kaplan. 2006. Pendidikan Guru di Wilayah Karen, Birma [Myanmar] (http://www.idp-europe.org). 7 Desember 2009.

27/11/09

Nilai Filosofis Pendopo dan Sifat Kepemimpinan

Oleh : Ajeng Nariswari


Budaya adalah perwujudan dari cipta dan karsa manusia, maka dari itu munculnya sebuah kebudayaan seringkali sebagai jawaban atas banyak hal yang menjadi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya budaya yang berwujud falsafah dalam sebuah benda, pada dasarnya merupakan buatan manusia untuk kemudian diterapkan di dalam tiap sendi kehidupan. Falsafah dapat ditemukan dalam banyak benda atau upacara-upacara adat di dalam Masyarakat etnis Jawa khusunya dalam menggambarkan sifat-sifat manusia. Sekilas tentang adat Jawa, biasanya akan kita temui beragam bahasa, rumah adat, bahkan pakaian adat yang memiliki makna dibalik bentuk serta fungsinya. Maka dalam pembahasan ini, penulis ingin memaparkan mengenai Rumah Tradisional Jawa yang disebut Rumah Joglo dengan unsur filosofi yang melekat pada bentuk atau wujud di dalam bagian rumah adat tersebut. Bukan sekedar falsafah, makna yang muncul dari bagian-bagian atau perangkat yang melengkapi Rumah Joglo seringkali diterapkan dalam sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin atau administrator sebagai abdi masyarakat.

Secara khusus pembahasan ini mengetengahkan makna filosofis dari satu bagian rumah adat Jawa (baca : Joglo) yang disebut Pendopo. Konstruksi yang menjadi ciri khas sebuah pendopo adalah sebagai berikut :

1. Di bagian depan, rumah tradisi Jawa memiliki teras yang tidak memiliki atap, dan pendopo (pendhapa) yaitu bagian depan rumah yang terbuka dengan empat tiang (saka guru) yang merupakan tempat tuan rumah menyambut dan menerima tamu-tamunya (Hedy C. Indrani dan Maria Ernawati Prasodjo dalam Tipologi, Organisasi Ruang, dan Elemen Interior Rumah Abu Han di Surabaya).

Dilihat dari fisik bangunan, maka pendhopo tampak sebagai bangunan yang terbuka karena hanya terdapat tiang di keempat sudutnya dan tanpa penyekat. Makna filofis yang terkandung adalah keterbukaan, bahwa seorang pemimpin harus memiliki sifat terbuka. Pemimpin harus menjadi sosok yang terbuka terhadap bawahan, yaitu terbuka pada saran atau masukan yang ditujukan kepadanya. Selain itu, sebagai seorang pemimpin maka sudah selayaknya ia memberi kesempatan kepada bawahan untuk secara fleksible menjadikan dirinya partner yang dapat diajak diskusi dan berkeluh kesah karena keterbukaan yang dimilikinya, jauh dari kesan hierarki yang berlebihan.

Falsafah tersebut sesuai pula diterapkan pada pegawai negeri atau administrator umumnya sebagai abdi masyarakat, dimana ia harus terbuka terhadap kritik yang membangun dari masyarakat serta menjadi tujuan bagi masyarakat untuk meminta pelayanan yang menjadi tanggung jawabnya. Kesimpulannya, pendhopo dengan keterbukaan konstruksinya menggambarkan sifat terbuka, merakyat, dan mudah dijangkau.

2. Masih menurut Indrani, bentuk pendopo umumnya persegi di mana denah berbentuk segi empat selalu diletakkan dengan sisi panjang ke arah kanan-kiri rumah sehingga tidak memanjang ke arah dalam tetapi melebar ke samping.

Bentuknya yang melebar ke samping adalah inti dari makna yang melekat di dalam bangunan pendopo. Sebagai seorang pemimpin atau administrator umumnya, orientasi yang harus dimiliki di dalam menjalankan tugas haruslah condong pada kepentingan lingkungan sekitarnya. Artinya sebagai pemimpin yang memiliki bawahan, sudah selayaknya memperhatikan kepentingan dan kebutuhan komponen-komponen di bawahnya. Dan sebagai seorang abdi masyarakat, maka administrator haruslah peka terhadap lingkungan di sekelilingnya untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Yang terbaik harus dilakukan oleh pemimpin dan administrator secara umum adalah berorientasi pada kepuasan dan pelayanan pada lingkungan sekitarnya (dilambangkan dengan bangunan yang melebar ke samping kanan dan kiri), yang berarti tidak hanya condong terhadap kepentingan organisasi (dilambangkan dengan bangunan pendopo yang tidak memanjang ke arah dalam).

3. Pendopo biasanya dibangun lebih tinggi dari halaman dan di dalamnya hanya beralas tikar untuk duduk bersila dan bercakap-cakap (Tim Wacana Nusantara dalam artikel Filosofi Rumah Tradisional Jawa).

Untuk mencapai bangunan pendopo, maka seseorang harus naik terlebih dahulu karena letaknya yang lebih tinggi dari halaman dan tuan rumah menemui tamu yang datang di dalam pendopo tersebut. Pendopo yang terletak lebih tinggi dari halaman, berarti bahwa seorang pemimpin dan administrator haruslah menempatkan bawahan dan masyarakat umum dalam posisi yang sama tinggi dengannya. Artinya pendhopo dengan konstruksi yang terpisah dan lebih tinggi dari halaman bermakna menghargai dan memandang orang lain sama dengan dirinya di luar jabatan atau kedudukan secara formal.

Dalam adat Jawa, pendopo biasanya tidak memiliki kursi dan siapapun yang berada di dalamnya harus duduk bersila di lantai beralas tikar. Makna yang melekat adalah kebersahajaan. Ketika tamu datang dan tuan rumah menemuinya, maka semua orang otomatis akan duduk bersama di bawah tanpa ada yang menempati posisi lebih tinggi dari lainnya. Maka sudah barang tentu, sebagai seorang pemimpin dan administrator seyogyanya sifat sederhana dan bersahaja diutamakan sebagai upaya penghargaan terhadap orang lain yang mungkin memiliki kedudukan formal yang lebih rendah.

Hidayatun dalam bukunya Pendopo dalam Era Modernisasi: Bentuk, Fungsi, dan Makna Pendopo pada Arsitektur Jawa dalam Perubahan Kebudayaan menuliskan bahwa bentuk salah satu ruang dalam rumah tradisi Jawa tersebut memperlihatkan adanya konsep filosofis tentang makna ruang yang dalam dimana keberadaan pendopo sebagai perwujudan konsep kerukunan dalam gaya hidup masyarakat Jawa. Pendopo tidak hanya sekedar sebuah tempat tetapi mempunyai makna filosofis yang lebih mendalam, yaitu sebagai tempat untuk mengaktualisasi suatu bentuk/konsep kerukunan antara penghuni dengan kerabat dan masyarakat sekitarnya Dari konstruksi dan letak bangunan, pendopo merupakan aplikasi sebuah ruang publik dalam masyarakat Jawa.

Maka kesimpulan akhir yang dapat menjelaskan keterkaitan antara konstruksi pendopo dengan sifat-sifat kepemimpinan serta administrator yang harus dimiliki adalah sifat keterbukaan, berorientasi pada kepentingan dan kebutuhan lingkungan sekitar, menghargai orang lain, dan bersahaja serta adaptive menyesuaikan dengan kondisi yang ada di sekelilingnya. Secara umum, pendopo adalah satu bangunan yang menjadi tempat berkumpul atau ruang publik, artinya pemimpin dan administrator secara umum juga harus mampu menjadi individu atau instansi yang merakyat dan memiliki keterbukaan dan kedekatan hubungan dengan kedudukan di bawahnya maupun masyarakat pada umumnya.

02/11/09

Masyarakat Pesisir di Tengah Stigma Negatif Kecenderungan Terhadap Prostitusi

Oleh :A. Ajeng Nariswari

Masyarakat Pesisir secara geografis adalah masyarakat yang mendiami daerah atau wilayah kebudayaan yang pendukungnya adalah masyarakat yang proses sosialisasinya berada dan tinggal di sepanjang daerah pantai utara pulau Jawa, yang dikenal dengan tiyang pesisiran (Mudjahirin Thohir dalam Eksistensi Budaya Pesisiran Pada Era Globalisasi).

Sebagai negara maritim Indonesia memiliki kekayaan perairan yang amat luas, dari ujung Sumatra hingga Papua tak lepas dari deretan perairan yang menjadi mata pencaharian serta tempat tinggal masyarakat pesisir. Tak terkecuali daerah Pantura Pulau Jawa yang akan menjadi lokus dari tulisan ini. Pantai Utara Pulau Jawa yang diantaranya mencakup sebagian wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan daerah yang terkenal sebagai penghasil kuliner laut. Sebut saja diantaranya udang ebi dan terasi udang dari Cirebon dan sekitarnya, kemudian ada kerupuk kulit ikan serta makanan ringan lainnya dari daerah Batang dan Semarang. Satu keuntungan lain yang dimiliki kabupaten/kota di daerah pesisir adalah potensi alamnya yang mampu menambah PAD melalui wisata bahari. Lihat saja, dari mulai Pantai Widuri, Pantai Purwahamba, Pantai Sigandu, Pantai Ujung Negoro, hingga Pantai Pelabuhan di Semarang serta banyak pantai lainnya berderet di sepanjang Pulau Jawa.

Secara umum keindahan pantai merupakan kekayaan alam serta kekayaan real bagi wilayah administratif yang memilikinya. Namun tak ubahnya sebuah sisi mata uang, ada satu bagian yang berlainan dengan bagian lainnya. Demikian pula daerah pesisir, ketika sebuah potensi alam dikembangkan menjadi daerah wisata oleh pemerintah setempat, maka ada kompensasi yang menyertainya. Modernisasi yang terjadi di sekeliling daerah pantai, sebut saja fasilitas penginapan, jalan, rumah makan serta banyak fasilitas pendukung lain mengundang masyarakat dari berbagai tempat untuk datang dan mengadu nasib. Banyak pendatang yang memenuhi wilayah pesisir hanya untuk sekedar berbagi sepetak rumah dengan penduduk lainnya. Akibatnya akulturasi budaya terjadi antara pendatang dan penduduk asli, termasuk pula bercampurnya kebiasaan atau budaya ‘miring’ yang dibawa satu sama lain.

Berangkat dari budaya ‘miring’ yang disebut sebelumnya, Prostitusi adalah satu kata yang sering kali erat dengan daerah pesisir. Budaya keras, terbuka, dan bebas yang dimiliki masyarakat pantai bisa jadi mendukung berkembangnya komoditas sex ini. Seperti sudah disebutkan bahwa komersialisasi sex ini tidak hanya berasal dari penduduk asli, namun juga dibawa oleh pendatang. Jika kita mengamati daerah di sekitar pantai, maka seringkali disamping rumah makan yang berderet juga terdapat rumah-rumah atau warung-warung di sepanjang jalan yang menjajakan bisnis prostitusi. Tulisan saya tidak bermaksud menggeneralisasikan semua daerah pantai di Indonesia sebagai sarang prostitusi. Namun hanya sebagai gambaran bahwa bisnis prostitusi seringkali mengiringi kemajuan daerah pesisir di Indonesia. Sebagai contoh adalah daerah pantai utara Pulau Jawa yang mencakup banyak kabupaten/kota di sekitarnya. Tak saya pungkiri bahwa di kabupaten dimana saya berasalpun tidak lepas dari bisnis ilegal tersebut, terutama di daerah pantai yang kini telah berkembang menjadi objek wisata. Namun yang cukup melegakan pemda setempat ternyata merasa gerah juga dengan semakin membanjirnya perkampungan liar yang disinyalir sebagai area prostitusi. Hingga pada akhirnya dilakukan pembersihan di sekitar lokasi pantai dengan maksud mencegah penyebaran penyakit menular HIV/AIDS. Satu kasus tersebut saya sertakan sebagai gambaran dari nyatanya komoditas sex tersebut terutama di sekitar daerah pesisir. Pemerintah bukannya menutup mata, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa bisnis semacam itu tidaklah mudah diberantas sampai ke akarnya. Upaya untuk kembali menyirami bibit-bibit prostitusi akan selalu dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mendapat keuntungan dari bisnis tersebut.

Uraian di atas saya katakan sebagai faktor makin eratnya stigma negatif yang menyertai keberlangsungan kehidupan masyarakat pesisir. Sehingga ada kalanya masyarakat kota/kabupaten di daerah pesisir yang tinggal jauh dari daerah pantaipun mendapat imbas dari stigma negatif tersebut.

Berangkat dari realita yang kini kita hadapi, fakta sejarah justru menunjukkan hal yang sangat berlawanan. Dari Masa Kerajaan, wilayah Pesisir merupakan pusat penyebaran agama Islam yang dibawa oleh pedagang dari berbagai belahan dunia, termasuk dari Gujarat yang membawa paham keagamaan tersebut. Disamping itu warna religiusitas sebenarnya juga melingkupi masyarakat pesisiran sejak masa Kerajaan hingga saat ini. Misalnya kita kenal kehidupan santri yang bernaung di bawah ormas-ormas yang berbasis agama. Justru di daerah pesisir seringkali kebudayaan tersebut mengakar dan menjadi nilai yang dianut oleh sebagian masyarakat. Lepas dari kecenderungan budaya kejawen dan semacamnya yang mensakralkan hal-hal tertentu di daerah pesisir, masyarakat pesisir juga sebenarnya masih menjiwai budaya ketimuran yang erat dengan norma agama serta pemahaman anti Budaya Barat. Namun dampak yang muncul akibat pemahaman tersebut, dikatakan oleh Mudjahirin Thohir bahwa anti Baratisme menjadikan masyarakat pesisir dahulu hanya terpaku pada upaya mempertahankan budaya aslinya tanpa ada inisiatif untuk maju karena kecurigaan mereka terhadap budaya Barat. Sehingga akibat yang paling nyata adalah muncul kerentanan sosial dan ekonomi pada masyarakat pesisir yang menjadikan mereka tidak memiliki pegangan kuat dalam aspek ekonomi khususnya.

Faktor bawaan sejarah tersebut bisa jadi masih menjiwai kehidupan masyarakat pesisir dewasa ini, namun sayangnya yang tersisa bukanlah basis agama serta keyakinan yang kuat, namun kerentanan sosial ekonomilah yang justru mencitrakan masyarakat pesisir kini. Sebagai implikasi dari kondisi rentan tersebut sudah dapat ditebak, bahwa masyarakat melakukan siasat apapun untuk bertahan hidup dengan sumber-sumber pendapatan yang minim. Artinya dalam situasi terdesak, masyarakat cenderung beralih ke sumber-sumber ekonomi yang ada di sekelilingnya, seperti bertani, berkebun dan berternak. Jika semua komoditas tersebut tidak lagi dimiliki, maka yang dikhawatirkan masyarakat akan beralih pada sumber pendapatan lain dengan mengkomersialkan tubuhnya sendiri melalui bisnis prostitusi.

Realita yang menyesakkan tersebut tampaknya berangkat dari akar masalah yang kompleks, bukan hanya dari sisi pemenuhan akan kebutuhan ekonomi. Beberapa alasan berikut mencoba mengurai benang kusut dari polemik yang muncul di tengah masyarakat pesisir mengenai ‘kewajaran’ bsinis prostitusi.

1. Masyarakat pesisir Indonesia yang berprofesi sebagai nelayan menempati strata sebagai masyarakat golongan ekonomi menengah kebawah, sebab yang logis adalah sebagian besar nelayan Indonesia hanyalah buruh nelayan atau nelayan tradisional yang kalah bersaing dengan banyak nelayan modern lainnya dari luar negeri. Keberadaan mereka tetap mendominasi meskipun pendapatan yang diperoleh tidaklah lebih banyak dari nelayan modern yang berjumlah lebih sedikit. Dari kondisi serba kekurangan tersebut, upaya untuk survive dalam kehidupan memaksa mereka mengikuti arus di lingkungan pesisir yang melegalkan prostitusi. Jika tidak sebagai penyedia wanita sebagai komoditas utama dalam bisnis ini, maka ada kalanya rumah atau kamar-kamar sempit menjadi investasi tak ternilai harganya dalam bisnis haram ini. Kondisi ekonomi, lingkungan, keterbatasan sumberdaya, menjadi kombinasi yang klop dalam menyuburkan prostitusi.

2. Solidaritas, menjadi sangat kental di bidang ini dengan melihat langgengnya bisnis prostitusi di tengah masyarakat pesisir. Durkheim dalam bukunya “The Division of Labor in Society” (1968) dalam Sunarto (2000 : 132) menunjukkan solidaritas macam apa yang terjadi di tengah masyarakat pesisir tersebut. Ketika di tengah masyarakat tercipta suatu kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan persamaan kelompok, maka muncul ikatan yang disebut kesadaran kolektif atau hati nurani kolektif (collextive conscience) sehingga tercipta struktur masyarakat yang tidak menghendaki perbedaan (solidaritas mekanik). Dari penjelasan tersebut menjadi beralasan jika akhirnya prostitusi tumbuh subur di tengah masyarakat pesisir yang telah memiliki ‘kesepakatan bersama’ akan adanya bisnis sex tersebut di dalam lingkungannya. Akibatnya tidak ada pihak dari dalam lingkungan tersebut yang akan memiliki inisiatif di luar dari jalur yang telah berlaku di dalam kelompok masyarakat dimana ia bermukim.

3. Masyarakat pesisir bagaimanapun kondisinya bukanlah masyarakat yang bodoh dan tidak peka terhadap lingkngan eksternal di sekelilingnya. Keberpihakan yang kurang dari bidang akademis untuk mengulas masyarakat pesisir dan sosialisasinya, minimnya kebijakan pemerintah yang berpihak pada masyarakat pesisir, serta yang paling menyentuh kehidupan mereka adalah ketika supremasi hukum belum benar-benar memberi kelegaan kepada masyarakat pesisir tradisional berkaitan dengan minimnya penindakan kepada nelayan modern yang menggunakan teknologi terlarang dalam penangkapan ikan, menjadikan masyarakat pesisir tradisional rentan untuk bersikap apatis terhadap negara. Selanjutnya dampak yang dipastikan muncul dari kondisi-kondisi tersebut adalah tumbuhnya jiwa keras dari masyarakat pesisir dengan terus melakukan bisnis dan tindakan ilegal yang nyata dilarang oleh pemerintah dan norma sosial, sebagai wujud pembangkangan atau pemberontakan dari rel lurus yang berlaku di dalam kehidupan bernegara.

Konsekuensi dari negara multikultural tidaklah mudah untuk ditelaah, banyak aspek dan latar belakang yang menjadi pendukung berkembangnya sebuah masalah sosial. Pemerintah bukanlah satu-satunya pihak yang bersalah dalam hal ini, keterbatasan sumber daya dan kapasitas yang dimiliki menjadikan pengelolaan terhadap potensi bahari dan masyarakat di sekelilingnya belum dapat mengentaskan masyarakat pesisir dari kubangan kemiskinan dan stigma negatif yang membayangi. Begitu pula dengan budaya yang bermukim di tengah masyarakat pesisir, keterbukaan informasi dan akulturasi kebudayaan yang mengelilingi kehidupan manusia dewasa ini seringkali menjadi ‘inisiatif’ terselubung yang mengawali jalan berliku sebuah bisnis prostitusi.



04/09/09

“Terimakasih” Malaysia

Luka lama itu kembali engkau buka, sebuah kenangan pahit yang tak mudah pupus dari ingatan kami. Dua tahun lalu, ketika Reog engkau ‘anggap menjadi milikmu’ kami berontak, rakyat Ponorogo turun menyuarakan aspirasinya dengan sengit dan berani. Engkau tahu karena apa? Ya, karena kami merasa identitas yang telah mendarah daging kami miliki akan terpaksa hilang karena kesewenang-wenanganmu. Jangan sangka kami tidak tahu, ketika berbagai dalih engkau lontarkan untuk membela tanah airmu tercinta dari klaim yang tidak bertanggung jawab ini kami bukannya diam, kami berpikir dan bergerak teratur menyusun kekuatan untuk kembali menyuarakan keprihatinan. Jangan sangka kami lupa, ketika dua tahun telah berlalu hingga hari-hari terakhir ini muncul kembali nama-nama khas yang erat dalam ingatan kami, wayang, angklung, batik, keris, dan semoga yang terakhir adalah Tari Pendet. Bukan pekik kegirangan yang kami suarakan, bukan pula kebanggaan karena nama-nama itu kembali berlaga di kancah internasional. Hanya rasa kecewa, marah, dan entah perasaan apa lagi yang layak kami ungkapkan kepada engkau saudara serumpun kami, Malaysia.

Sudah berapa kali engkau membuat kami kecewa, bahkan sudah berapa kali kami menahan amarah demi apa yang mereka sebut sebagai upaya menjaga stabilitas nasional. Malaysia, betapa mungkin engkau lupa rasanya memiliki sesuatu yang berharga hingga akhirnya benda berharga tersebut direbut tanpa kami bisa berbuat apapun untuk menahannya. Mungkin betapa engkau telah benar-benar lupa bagaimana rasanya memiliki dan memelihara sesuatu hingga sesuatu itu menjadi lekat dalam kehidupan kami, Bangsa Indonesia. Memang, tidak semua dari kami peduli dengan apa yang kini engkau ‘anggap menjadi milikmu’, dan tidak pula banyak orang Indonesia yang benar-benar merasa kehilangan akan semua yang engkau ‘anggap menjadi milikmu’ itu. Tapi dengarkan suara kami, dan rasakan betapa kehilangan menyadarkan kami akan sesuatu yang selama ini kami miliki. Kehilangan yang terjadi karenamu seolah menghentak jiwa-jiwa kami untuk kembali menyuarakan penolakan atasmu. Kami memang berbeda darimu, walaupun banyak fakta menunjukkan bahwa kita serumpun. Kami memiliki identitas sebagai Bangsa besar dengan kebudayaan yang beraneka ragam, kami memiliki kepercayaan akan tanah tumpah darah kami, dan kami menjaga dengan hati-hati warisan leluhur kami. Sebagai bangsa yang besar, mungkin kami mengetahui lebih banyak dari apa yang tidak engkau ketahui, dan mungkin juga kami harus mengajarkan sesuatu kepada engkau, bahwa sebagai saudara serumpun ada sebuah tata krama yang hendaknya engkau pahami. Bagaikan perlakuan seorang adik kepada saudara kandungnya, tidakkah engkau merasa harus lebih bertindak sopan dan bijaksana kepada kami. Tidakkah engkau tahu ada etika yang harus dijalankan jika seorang saudara ingin ‘meminjam’ apa yang dimiliki saudaranya. Kita berbeda, namun tampaknya kita memiliki kebanggaan yang sama akan sebuah hal. Seharusnya kami tersanjung, karena ternyata engkau turut bangga dengan apa yang kami miliki, bahkan engkau ‘mendahului’ kami untuk memperlihatkan kepada dunia kekayaan yang kami miliki. Namun cobalah berpikir terbuka, pilah dan akui realita yang ada bahwa itu semua milik kami Bangsa Indonesia. Apa engkau telah kehabisan ide untuk bisa berinteraksi dengan kami tanpa harus membuat kami marah ? atau apakah sebenarnya ini hanya salah satu usahamu untuk mendompleng nama besar kami, Bangsa Indonesia ? kami menghargai apa yang engkau miliki, dan kami tidak berusaha mencaplok milik saudara kami sementara kami bahkan memiliki lebih banyak dari apa yang engkau punyai. Kami tidak berpikir sedikitpun untuk bertindak seperti apa yang engkau lakukan kini terhadap kami. Karenanya, tak habis kami berpikir mengapa tindakan serendah itu terpikir olehmu, saudaraku?

Namun ada satu pengakuan yang ingin kami sampaikan kepada engkau saudara serumpun kami. Terima kasih atas perlakuanmu terhadap kami, terimakasih atas pengakuanmu terhadap semua yang menjadi milik kami. Berkatmu, kini kami memiliki rasa persatuan yang lebih kuat, karenamu kini sebagian besar dari kami merasa memiliki satu pandangan yang sama kepadamu. Dan hanya karenamu Malaysia, kini kami memiliki tekad yang lebih kuat untuk menjaga kedaulatan tanah air kami dari pihak-pihak luar sepertimu yang sangat kami hindari. Terima kasih Malaysia, klaimmu atas kami memberikan bukti bahwa banyak pihak di luar sana yang mungkin memiliki keinginan yang kuat untuk memiliki apa yang juga kami miliki. Semua ini membuat kami berpikir bahwa semua yang kami miliki berharga, dan semua ini mengingatkan kami bahwa kami satu bangsa dan tidak akan tinggal diam melihat Malaysia-malaysia lain yang mungkin telah mengarahkan target perburuannya di negeri kami tercinta.
30082009

09/08/09

Apa jadinya “Dunia Tanpa Manusia” ?



Satu hari sebelum pameran buku di JEC ditutup, baru saya teringat akan diselenggarakannya event ini. Padahal sudah lama saya menantikan pameran buku yang biasanya di selenggarakan di Gedung Wanitatama Yogyakarta. Karena pameran buku yang bertajuk ‘pameran buku terbesar’ ini diadakan di JEC dengan IKAPI sebagai penyelenggaranya (4-9 Agustus 2009), maka dalam benak saya pameran ini benar-benar mengambil seluruh tempat di dalam gedung JEC. Namun ketika saya datang malam itu, ternyata sedang berlangsung lebih dari satu event di JEC dalam waktu yang bersamaan. Alhasil, bayangan saya pupus sudah ketika menyaksikan bahwa pameran ‘hanya’ mengambil sebagian dari luas keseluruhan gedung. Walaupun demikian, pameran ini tetap menarik dan lengkap. Menarik karena banyak potongan harga yang memanjakan pengunjung, dan lengkap karena banyak penerbit yang ikut berpartisipasi dalam pameran. Entah berapa penerbit mendirikan stand dalam pameran ini, yang jelas selama dua jam berputar area pameran, tetap tidak membuat saya tuntas mengunjungi semua stand satu persatu.

Misi saya malam itu sebenarnya adalah mencari bacaan ringan untuk pengisi waktu luang menunggu masa libur usai. Namun demikian setelah berputar tak kurang dari dua jam akhirnya pandangan saya tertuju pada satu buku yang tampaknya cukup berat. Berat di bahasan, berat di halaman, dan berat di ongkos. Namun ketertarikan di awal membuat saya tak berhenti menerka-nerka seperti apa isi buku tersebut. Sebuah buku terjemahan dengan judul asli ‘The World Without Us’ karangan Alan Weisman yang mendapat penghargaan sebagai buku nonfiksi terbaik pilihan Majalah Time selanjutnya menjadi pilihan saya. Ketika membaca judulnya langsung saya simpulkan bahwa buku ini adalah prediksi atau hasil imajinasi dari penulis. Namun kemudian secara lebih jauh saya ketahui bahwa buku ini ditulis berdasarkan riset langsung oleh penulis yang kemudian secara otomatis menempatkannya tidak hanya sekedar sebagai cerita nonfiksi tanpa bukti.

Membaca sinopsis di balik cover buku maka pikiran saya langsung terbawa untuk turut berimajinasi atau lebih tepatnya berpikir jauh ke depan jika seandainya manusia telah hilang dari muka bumi. Pada sinopsis tersebut dikatakan bahwa seluruh infrastruktur yang selama ini berdiri dengan megahnya tak akan dapat bertahan selepas hilangnya manusia, bahkan pipa-pipa dan kabel tembaga yang selama ini mengalirkan energi bagi kehidupan manusia tak luput dari kerusakan dan akhirnya kehilangan fungsinya. Disebut pula kemungkinan kembali menyeruaknya hutan belantara di seantero bumi setelah runtuhnya bangunan-bangunan yang sebelumnya kuat bercokol di permukaannya. Menyeramkan memang, namun saya sadari bahwa hal tersebut mungkin saja terjadi. Secara logika benda-benda di sekeliling kita merupakan benda yang bekerja karena difungsikan oleh manusia, jika manusia tidak ada maka bayangkanlah benda tersebut akan tergeletak diam tak bergerak, rusak, dan lama kelamaan akan musnah ditelan waktu. Selain membahas benda-benda yang segera lenyap, buku ini juga berusaha mengupas karya seni atau kebudayaan apa yang paling lama bertahan dan menjadi ‘hadiah terakhir terhadap alam semesta’.

Bacaan ini sebenarnya cukup berat dalam kapasitas saya yang jauh dari ilmu-ilmu alam atau ilmu fisik, namun saya penasaran akan jawaban dari pertanyaan yang ditulis di awal sinopsis mengenai ‘Bagaimana pengaruh manusia atas planet ini ?’ yang kemudian akan mengarah pada dampak dari ‘dosa-dosa’ manusia terhadap bumi selama ini. Pastinya jawaban tersebut tidak akan saya peroleh secara gamblang kecuali saya membaca keseluruhan isi buku ini. Maka, tulisan ini akan menjadi awal dari ‘kerja keras’ saya selama beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan ke depan untuk berusaha menaklukkan karya yang disebut-sebut sebagai International Bestseller ini.

M.O.C.H.I




Bukan tanpa alasan, Mochi menjadi inspirasi menulis saya kali ini. Seperti biasa, jika kantuk tak kunjung menyerang maka di depan layar komputerlah saya kembali datang. Dan kebetulan, tepat di depan saya terhidang satu keranjang Kue Mochi, oleh-oleh dari seorang teman. Entah karena rasa penasaran atau buah dari keisengan, akhirnya saya mencoba mencari tahu cikal bakal dari Kue ‘aneh’ nan kenyal ini.

Pada dasarnya rasa kue mochi yang manis tidak terlalu cocok di lidah saya, apalagi dengan taburan tepung yang bagi saya terasa hambar dan lagi-lagi ‘aneh’. Namun ketika beberapa jam belakangan keranjang Mochi selalu tertangkap mata saya, maka tak lama satu butir kue mochi sukses tertelan dengan indahnya. Dan seperti janji saya di awal, mari kita kuak misteri terpendam dari kue yang lekat dengan Negeri sakura ini.


Ketika kata 'mochi' saya ketikkan dalam kotak google, muncullah satu halaman Wikipedia dimana saya temukan kisah ‘seorang’ Mochi. Menurut sumber tersebut, kue mochi adalah satu dari beragam kue tradisional Jepang yang dalam bahasa mereka disebut sebagai Wagashi. Mochi merupakan satu dari beragam Wagashi yang menjadi penganan penyerta dalam upacara minum teh. Sebagai penyeimbang dari rasa teh yang pada umumnya pahit atau sepat maka dihidangkanlah Kue Mochi atau wagashi lainnya dalam rasa yang sangat manis. Dari sinilah kemudian banyak bermunculan wagashi sesuai musim yang sedang terjadi di Jepang. Perbedaan yang mencolok tiap wagashi dalam musim yang berlainan ditampilkan melalui warna dan bentuknya yang dianggap bisa mewakili warna alam di setiap musim tersebut. Walaupun demikian, seringkali dijumpai beragam wagashi sepanjang tahun tanpa peduli musim yang sedang terjadi.

Salah satu wagashi yang menjadi tokoh utama kali ini adalah Kue Mochi, kue dari bahan dasar tepung beras atau ketan ini memiliki bentuk bulat pipih yang seringkali disajikan di dalam keranjang bambu dengan logo yang bertuliskan huruf Jepang. Entah apa artinya yang jelas dari situlah muncul kekhasan tersendiri bahwa Mochi adalah Jepang, atau sebaliknya. Wujud mochi yang khas dengan balutan tepung memiliki pangsa pasar tersendiri di Indonesia, pamornya dikalangan wisatawan lokal ketika menginjakkan kaki di daerah yang disebut-sebut sebagai penghasil mochi sering mengalahkan potensi wisata di daerah tersebut. Sebagai buah tangan, mochi tidaklah mengecewakan. Keunikan pembungkusnya dan ke’anehan’ rasa Mochi menjadi ketertarikan tersendiri bagi konsumen penikmat Mochi.

Statusnya sebagai ‘pendatang’ dari negeri Jepang tak membuatnya kalah tenar dengan kue-kue tradisional asli dari Indonesia. Maka pertanyaan saya, adakah kue tradisional asli dari Indonesia yang bernasib sama dengan Kue mochi di negeri kita ini ? padahal jika ditimbang dari rasa, kue-kue tradisional Indonesia tak kalah nikmatnya dengan kue-kue khas luar. Kalau pasar luar negeri belum bisa menerima kue tradisional khas Indonesia sebagai penganan mereka, maka sudah sepantasnya kue-kue semacam putu, onde-onde, leupeut jagung, klepon, gethuk, dodol dan banyak ragam lainnya kita posisikan sebagai kuliner khas di tanah air yang layak dihidangkan di hotel-hotel berbintang atau rapat-rapat kenegaraan yang dihadiri oleh tamu-tamu asing. Dan usaha itu tampaknya telah banyak kita jumpai ketika beragam food promotion sering diselenggarakan di dalam maupun di luar negeri. Meskipun pada kenyataannya upaya tersebut belum cukup membuat Indonesia dikenal dengan ‘gethuknya’ atau ‘putunya’ dan lain sebagainya, namun usaha tersebut patut mendapat dukungan dari kita sebagai pewaris kekayaan nusantara. Jangan sampai kekayaan kuliner kita kembali diklaim oleh negara-negara lain hanya karena kita lengah akan potensi yang senyatanya ada di depan mata.