07/12/09

Dominasi vs Diskriminasi Etnis di Myanmar

Myanmar dan Malaysia mungkin tidak jauh berbeda, bukan dari potensi ekonomi atau sistem pemerintahannya namun dua negara tersebut memiliki kemiripan dalam perlakuan terhadap suku minoritas. Walaupun dalam kajian ini, Myanmar tampak lebih represif dalam memerangi suku minoritas di wilayahnya dengan pertikaian bersenjata dan semacamnya. Konsep yang melingkupi konflik antar kelas dan antar golongan ini lebih condong pada pihak yang pro demokrasi vis a vis pihak yang mengabaikan demokratisasi.


Berbicara mengenai suku minoritas di Myanmar, sudah barang tentu pembahasan mengenai kaum oposisi, junta militer, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia sulit untuk dilepaskan. Masyarakat dunia sudah paham, dimana Myanmar diberitakan seringkali kabar tak sedap diperdengarkan. Misalnya ketika Malaysia mengutuk tindakan pembunuhan ratusan ribu muslim Rohingnya di Myanmar, atau ketika banyak tindakan radikal lainnya yang seringkali dilakukan oleh Junta militer Myanmar dalam upaya penangkapan dan pembersihan politik domestik dari unsur-unsur oposisi. Semua kasus tersebut bermuara pada satu masalah besar yang hingga kini kerap menjadi kritik barat terhadap ASEAN berkenaan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Namun ketika prinsip ‘tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain’ menjadi semacam batasan atau penghalang bagi negara lain untuk ikut andil dalam menyelesaikan masalah di Myanmar, maka masalah tersebut seolah kian melebar dan menjadikan kaum oposisi di Myanmar sebagai bulan-bulanan yang tak terelakkan dari militer nasional Burma.


Berangkat dari kondisi yang rentan tersebut, pada dasarnya akan ditemukan bahwa masalah yang krusial menyangkut persoalan instabilitas Myanmar adalah keragaman etnis, budaya, dan agama di tengah dominasi etnis Burma sebesar 69 % dari seluruh penduduk Myanmar. Faktor inilah yang paling banyak menyedot energi politik dan ekonomi pemerintah pusat yang akhirnya melahirkan kebijakan Burmaisasi kelompok-kelompok etnis yang ada (Bambang Cipto MA, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, h. 159).


Menurut Allan Collins, kondisi tersebut tak terelakkan mengakibatkan perlawanan fisik dan militer dari etnis-etnis minoritas yang menentang dominasi Etnis Bamar (Etnis Burma), mereka menentang prospek penghapusan budaya mereka sendiri oleh rejim militer Burma. Salah satu etnis minoritas yang paling gencar melakukan perlawanan adalah Suku Karen. Pembentukan Karen National Union (KNU) pada tahun 1947 mengakibatkan perlawanan semakin tampak nyata. Apalagi ketika Suku Karen melebarkan sayapnya dalam wujud Karen National Liberation Army (KNLA). Masih menurut Bambang Cipto, kondisi tersebut tidak berarti bahwa etnis minoritas lain hanya diam berpangku tangan, selanjutnya pada tahun 1976 beberapa kelompok minoritas bergabung dalam sebuah persekutuan militer, NDF (National Democratic Front) yang bertujuan membela diri dari tekanan militer pasukan pemerintah Burma. Kondisi tersebut sebenarnya wajar, mengingat pembatasan gerak oleh Pemerintah Burma pada kaum oposisi bahkan hingga aspek pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Tidak seperti kebanyakan negara-negara di Asia Tenggara, yang mungkin bekerja dengan pemerintahan nasional dan mendukung Pendidikan Untuk Semua [PUS] bagi kelompok pribumi, kediktatoran militer Birma secara gencar melarang banyak kelompok pribumi dan program-program pendidikan mereka. Hal ini memiliki implikasi yang besar bagi kelompok seperti Karen dalam hal mengakses dan merasakan pendidikan (Naw Ler Htoo, Scott O’Brien dan Ian Kaplan, dalam Pendidikan Guru di Wilayah Karen, Birma [Myanmar]). Bahkan kondisi tersebut diperparah dengan adanya sistem yang menolak mengajarkan bahasa, sejarah dan budaya Karen di sekolah-sekolah formal. Tantangan tersebut tampaknya justru menimbulkan inisiatif dan intuisi bertahan hidup bagi Suku Karen dengan memanfaatkan celah-celah yang ada melalui pembentukan organisasi-organisasi yang mengedepankan pemenuhan kebutuhan dasar Suku Karen, salah satunya melalui Kelompok Kerja Guru Karen (KTWG).


Menanggapi kemajuan yang seolah telah diupayakan sendiri oleh Suku Karen, justru tindakan radikal seringkali menjadi rutinitas yang dilakukan oleh Pemerintah Birma. Yerry Nikholas Borang, dalam Junta Militer Myanmar Gempur Suku Minoritas aksi yang muncul selalu disertai pelanggaran hak asasi manusia berupa pembunuhan rakyat sipil, pemerkosaan, penghancuran tanaman, dan penculikan untuk kerja paksa. Pemerintah Myanmar juga menerapkan pemaksaan relokasi bagi Suku Karen dari daerah adatnya. Upaya ini dilakukan untuk memadamkan perang gerilya Karen National Union dan kelompok gerilya suku-suku minoritas lain. Jika menengok kondisi yang sangat tidak bersahabat dengan kaum oposisi tersebut, sebenarnya muncul satu pemahaman bahwa di dalam Myanmar kaum elit yang disebut SLORC (State law and Order Restoration Council) terobsesi oleh keinginan untuk selalu memelihara dan mempertahankan persatuan dan kedaulatan negara di atas segalanya dengan tidak mentolerir pandangan alternatif terhadap konsep dasar keamanan Myanmar. Maka secara otomatis kondisi tersebut menutup kemungkinan munculnya kaum oposisi yang selalu bergerak menuntut keterbukaan dan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Myanmar.


Dalam artikel Tentara Tuhan Masih Bergerilya di Myanmar dikatakan bahwa untuk menghadapi gempuran yang terus menerus dari Pemerintah Birma menyangkut keberadaan Suku Karen di daerah pedalaman dan perbatasan Myanmar-Thailand, sebagai perlawanan muncul Gerilyawan suku Karen yang telah berjuang merebut hak otonomi dari pemerintah Myanmar sejak 53 tahun silam. Suku Karen atau dikenal juga dengan sebutan Tentara Tuhan muncul sejak Myanmar merdeka dari Inggris pada tahun 1948. Perpecahan atau sebenarnya dapat disebut pula dengan perang saudara tersebut tampaknya akan terus menjadi perang dingin atau bahkan akan awet menjadi perang terbuka meskipun Myanmar pernah mendeklarasikan telah melakukan perjanjian perdamaian dengan Kaum oposisi pada pertengahan tahun ini.

DAFTAR PUSTAKA

Borang, Yerry Nikholas. 2007. Junta Militer Myanmar Gempur Suku Minoritas (http://www.vhrmedia.com). 7 Desember 2009.

Cipto, Bambang. 2007. Hubungan Internasional di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Scott O’Brien dan Ian Kaplan. 2006. Pendidikan Guru di Wilayah Karen, Birma [Myanmar] (http://www.idp-europe.org). 7 Desember 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar