30/06/09

Alkid di masa kami

Kali ini saya tidak sendiri, beberapa sahabat menemani saya untuk menikmati eksotisme Yogya di waktu malam..
Sebagai seorang pendatang yang baru mengenal Yogya dalam jangkauan yang terbatas, saya termasuk salah satu yang sangat terinspirasi untuk menuangkan tiap detik dinamika Yogya dalam untaian kata-kata seperti ini. Bagi saya, lewat media seperti inilah ungkapan dan kesan saya akan suatu hal tidak akan sia-sia belaka.

Dimulai tepat pukul 19.00 menurut versi waktu kami, saya mencoba mengusulkan untuk mencari situasi baru di luar lingkungan tempat tinggal kami di daerah Karangasem. sudah menjadi sebuah tradisi bahwa masa 'perpisahan' sebelum liburan panjang pasca ujian akhir, kami lalui dengan touring ke suatu tempat yang biasanya tidak jauh-jauh dari objek pantai, atau gunung. Namun kali ini kesibukan teman-teman membuat kami tidak dapat mengalokasikan waktu barang sehari saja untuk pesta 'perpisahan' semester ini. Tak apalah, yang jelas kebersamaan kami malam ini cukup mengobati kekecewaan saya, walaupun hanya dengan duduk-duduk beralas tikar dan beratap bintang, ditemani kacang rebus dan wedhang ronde. Dan kali ini tempat yang kami tuju adalah sebuah lapangan berdebu yang dihiasi dua pohon beringin di tengah area. Sudah dapat ditebak, malam itu kami menghabiskan waktu di alun-alun, dan pilihan kami jatuh pada alun-alun kidul Yogyakarta.

Bagi yang belum tau, sedikit saya ungkap cerita mengenai alun-alun kidul ini. Tempatnya sekilas sangat tidak menarik bagi anda yang mengharapkan hiburan mewah dan berkelas, hanya temaram lampu angkringan, tikar, dan kerlap-kerlip 'kunang-kunang' yang dijajakan banyak pedagang disana. Namun justru disanalah tempat hiburan yang menurut saya menyentuh semua kalangan, walaupun biasanya ketertarikan pengunjung lebih dilatarbelakangi oleh romantisme masa lalu, atau ketertarikan akan mitos yang berkembang.
Secara harfiah, dapat kita ketahui bahwa alun-alun kidul (alkid) terletak di bagian kidul atau selatan keraton Yogyakarta. Disebut pula pengkeran atau pengker yang berarti sama dengan mburi atau belakang. Jadi, alkid ini letaknya di belakang Keraton Yogyakarta. Di tengah masyarakat Jawa yang penuh dengan filosofi, keberadaan dua pohon beringin di tengah alun-alun dimaknai sebagai supit urang atau capit udang (infoyogya.com).

Mengenai kondisi fisik alkid, sejauh yang saya ingat sejak kedatangan saya dua tahun lalu ke Kota Yogya, kondisi rumput di alun-alun kidul memang menjadi sangat berkurang. Terutama rumput yang mengarah ke tengah di antara dua pohon beringin, kegersangan tersebut membuat banyak debu beterbangan bahkan di malam hari.
Yang lain dan menarik mengenai alkid adalah mitosnya, kabarnya bahwa siapapun yang bisa berjalan lurus dengan mata tertutup hingga tepat di tengah dua pohon beringin adalah orang-orang yang berhati bersih. Menariknya, mitos tersebut justru menjadi daya tarik dan difasilitasi oleh pedagang disana dengan jasa penyewaan penutup mata. Jangan mengira pekerjaan tersebut mudah, seringkali banyak orang yang melenceng jauh dari tengah pohon beringin, bahkan pernah saya saksikan salah seorang pengunjung berjalan berlawanan arah dari kedua pohon beringin, jika demikian maka kesimpulannya orang tersebut (tidak) berhati bersih. Boleh percaya atau tidak, yang namanya mitos memang seringkali tidak dapat dijelaskan dengan logika, mayoritas pengunjungpun saya rasa hanya menganggap itu sebagai hiburan dan terbawa suasana di tengah riuhnya alun-alun kidul. Bagi saya, cukuplah sekali waktu saya mencoba mengikuti mitos dan dengan suksesnya melenceng dari tengah pohon beringin, jadi artinya ? ah sudahlah...yang penting cobalah berkunjung dan nikmati malam di tengah gurauan muda-mudi di tepi lapangan, dan suara-suara merdu pengamen yang mencoba mengais rejeki di antara pengunjung yang menghabiskan malam di alun-alun kidul.


Menikmati suasana tersebut cukup menjadi hiburan di tengah kepenatan tugas dan rutinitas sehari-hari. Dinginnya malam ditambah dengan riuhnya alun-alun kidul semakin membuat saya tidak segera ingin beranjak pulang, bahkan dengan keterbatasan fasilitas yang ada, membuat saya dapat lebih bebas menikmati euforia yang terjadi di sekeliling.

Pernah Muda

Jogjakarta ibarat magnet, itu kata mereka yang setidaknya pernah merasakan hidup di kota ini. Sebagian besar dari mereka yang saya temui mengatakan tidak ada salahnya mencoba hidup di kota asing demi sebuah cita dan angan yang sayang untuk dilalui. Sebaris kalimat itulah yang hampir dua tahun lalu selalu didengungkan banyak orang disekitar saya. Ungkapan itu motivasi dan semangat bagi saya di tengah rasa bimbang yang luar biasa saya rasakan ketika itu.

Sedikit menoleh ke masa itu, ketika ijazah SMA telah ditangan dan surat-surat panggilan universitas kian hari semakin membuat saya menyadari bahwa inilah saatnya gerbang ke dunia luar itu terbuka. Hingga suatu hari kebimbangan begitu menyesakkan hati saya, ingin hati melanjukan jenjang pendidikan dalam bidang sastra dan merencanakan Kota lumpia sebagai tujuan saya. Bukanlah tanpa alasan mengapa saya berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan di bidang sastra, perasaan saya waktu itu (jujur) hanya ingin menghindari matematika, pelajaran yang sangat tidak saya sukai dan seringkali membuat saya putus asa ketika masa sekolah dulu dan saya kira dalam sastra tidak akan ada hitung menghitung. Entah mengapa saya begitu dalam menarik diri dari bidang matematika dan hitung menghitung. Namun kemudian pemahaman saya lebih terbuka mengenai cita-cita, tidak hanya ingin menghindar dari serbuan angka, sayapun ingin menjadi penulis dan bekerja sebagai pengajar di sebuah universitas. Memang sebuah hal yang sangat sederhana untuk ukuran sebuah cita-cita, dan mungkin agak sedikit memaksa untuk dapat disambungkan dengan bidang sastra yang ingin saya geluti. Itu pemikiran saya waktu itu, polos dan mungkin terlalu lugu untuk sebuah pemahaman akan masa depan. Hingga akhirnya keinginan saya terwujud dan datanglah surat panggilan dari universitas terkemuka di Ibukota Jawa Tengah tersebut. Sebuah surat panggilan dari Fakultas sastra yang pada awalnya saya pikir akan menjadi pilihan terakhir saya. Namun entah mengapa keinginan yang begitu kuat kala itu sedikit demi sedikit sirna dan berganti dengan keinginan lain untuk coba menjajaki bidang lain. Mungkin itulah jiwa muda, selalu penuh dengan rasa ingin tahu mengenai ‘ada hal lainkah di balik jalan berkelok itu?’. Keinginan untuk mencoba mandiri di lingkungan baru yang asing juga seolah memenuhi kepala saya, seakan sebuah suara menantang saya untuk mencoba menguji keberuntungan di Kota Jogja. Beberapa waktu saya mencoba berpikir, dan akhirnya ajakan seorang teman untuk mengirim lamaran ke sebuah universitas di Jogja mengantar saya menjadi pendatang baru di daerah kekuasaan seorang Sultan ini.

Akhirnya, kembali terngiang dalam ingatan saya ketika banyak orang kala itu mengatakan bahwa, “cobalah hidup di tempat asing yang terpisah dengan keluarga, rasakan dan nikmati ketika rutinitas baru kamu alami, dan coba terka..betapa menarik ketika tanpa kamu sadari sebuah gerbang untuk menuju aktualisasi diri telah kamu raih kunci pembukanya, dan jalani waktumu dengan bahagia ..hingga tanpa ragu gerbang tersebut seolah akan terbuka dengan sendirinya tanpa kamu harus membukanya”.

23/06/09

“Argument um ad ...”

Terus terang saya bingung harus berkomentar apa. Oke, malam ini calon wakil presiden sudah berusaha untuk menghidupkan ‘debat’ menjadi debat yang sesungguhnya. Meskipun tetap saja yang terjadi lebih condong pada ajang diskusi dan-mengutip perkataan sang moderator malam ini, sebuah penyampaian presentasi.

Menengok suasana di luar panggung debat para calon wakil presiden, kondisi yang ramai dan menarik justru terjadi di tengah perdebatan sengit antar tim sukses. pertanyaan saya adalah, mengapa justru tim sukses yang lebih agresif? Sepengetahuan saya, tim sukses adalah crew, atau elemen yang menjadi tim operasional dari kebijakan calon presiden atau wakil presiden. Tapi malam ini, justru merekalah yang lebih layak disebut bintang panggung. Mengapa saya katakan demikian? Karena justru tontonan yang argumentatif, agresif, dan semarak seperti itulah yang sesungguhnya diinginkan.

Mungkin jawabannya ada pada seberapa besar aturan main berperan didalam arena debat. Jika KPU sebagai penyelenggara debat formal untuk calon presiden dan calon wakil presiden memberlakukan aturan khusus untuk moderator dan kandidat, seperti misalnya moderator dilarang mengejar atau mempertanyakan kembali secara menyelidik kepada capres atau cawapres, maka lain halnya dengan yang terjadi di luar arena tersebut. Di sebuah stasiun tv swasta dimana tim sukses berkumpul untuk bersama membahas acara debat yang baru berlangsung, justru muncul adu argumentasi, saling serang, dan bahkan saling menjatuhkan antar perwakilan kandidat. Memang bukan cara yang santun untuk sebuah negara dengan budaya ketimuran yang khas dengan keramahan seperti Indonesia, namun itulah ungkapan jujur yang diharapkan didengar oleh rakyat. Argumentasi yang keluar itulah yang kemudian menjadikan rakyat tau lebih dalam dan lebih asli dari tiap capres maupun cawapres.


Ada sebuah fenomena menarik yang terungkap didalam arena debat kusir di tengah tim sukses masing-masing kandidat. Jika disimak, beberapa kali petinggi-petinggi tim sukses menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dengan menunjukkan prestasi-prestasi yang menurut mereka semua orang sudah tau akan hal itu. Begini contohnya, ketika ada sebuah pertanyaan ditujukan kepada tim sukses dari calon incumbent misalnya, dan kemudian dijawab dengan “lihatlah saja pada kepemimpinan beliau selama lima tahun terakhir dan anda lihat betapa produktifnya beliau dengan berbagai program-program pengentasan kemiskinan, pada kenyataannya rakyat terbantu ”. Jawaban seperti itu menunjukkan bahwa sang penjawab sedang berargumen pada taraf argumentum ad populum atau secara mudah diartikan bahwa ia tidak langsung menjawab pertanyaan, namun memberikan bukti-bukti dengan cara menonjolkan kehebatan riwayat dirinya dan menonjolkan pribadinya (Ignas Kleden, 2009). Yang lebih menarik, masing-masing tim sukses juga melakukan argumentum ad populum dengan bahasan dan bidang yang berbeda. Masing-masing saling mengklaim bahwa pihaknyalah yang berjasa.
Lain lagi dengan kecenderungan berikut, jika kita perhatikan ketiga pihak yang diwakili oleh tim sukses masing-masing tampak saling menyerang secara pribadi. Misalnya dengan menyebut “..beliau terlalu berpikir secara akademis”, atau “kecenderungannya lebih didasarkan pada pribadinya yang berpihak pada asing”, dan contoh lain “pendapatnya hanya berkisar pada tatanan sistemik tanpa kesinambungan dalam implementasinya” . Contoh-contoh pernyataan yang demikian menunjukkan bahwa mereka sedang melakukan argumentum ad hominen yang berarti memberikan jawaban dengan cara menyerang pesaingnya secara pribadi dan juga pihak yang meragukan kemampuannya (Ignas Kleden, 2009). Menarik memang jika politik dikaji dari sudut pandang yang berbeda. Secara psikologis, argumen-argmen yang dikeluarkan memang wajar melihat posisi mereka sebagai pendukung dari masing-masing pihak yang berlainan. Apapun jawaban maupun argumen yang diberikan pasti ujungnya untuk memberikan pembelaan bagi pihak yang didukung. Kalau sudah begini, rakyatlah yang kemudian harus cerdas menentukan pilihan. Suguhan tersebut hanya provokatif bagi rakyat, dan seharusnya menjadi pemantik untuk dikaji lebih dalam mengenai apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan, dan apa yang sesungguhnya akan mereka kerjakan kelak setelah berhasil meraih tampuk kepemimpinan.

Flashback


photo by www.beritabaru.com

_22062009_
Beberapa waktu lagi, masyarakat Indonesia kembali diajak untuk menyaksikan debat calon wakil presiden di televisi. Semoga debat yang sesunggunya, mungkin itulah harapan mayoritas masyarakat Indonesia malam ini. Harapan bukanlah tanpa alasan, dilatarbelakangi oleh kekecewaan ketika menyaksikan ‘debat’ putaran pertama calon presiden minggu lalu menjadikan masyarakat menggantungkan harapan pada para calon wakil presiden yang akan menjadi tokoh utama dalam debat kali ini. Pasca debat calon presiden putaran pertama kemarin, masyarakat seolah disudutkan dalam pandangan yang jauh lebih sempit dari perspektif yang semula terbangun melalui argumen-argumen yang mengalir deras melalui media dan pidato-pidato politik. Sebagai pribadi yang selalu optimis, sayapun menaruh harapan besar pada malam dimana debat putaran pertama calon presiden dilangsungkan. Bayangan yang tergambar adalah, ketiga calon presiden saling berargumen dan mempertahankan pendapatnya masing-masing dengan cara yang tentunya anggun serta luwes. Dengan gaya bicara, sikap tubuh dan mimik muka masing-masing saya prediksi akan menjadi sangat bervariasi, mungkin akan banyak nada tinggi, mimik muka ‘tidak setuju’, maupun sikap tubuh yang menunjukkan keanggunan atau kewibawaan masing-masing. Apa mau dikata, malam dimana dilangsungkan debat putaran pertama calon presiden yang lalu saya rasakan begitu monoton, wagu, dan mungkin hanya berlangsung dalam area aman tanpa upaya untuk menghidupkan diskusi malam itu. Jika beberapa hari belakangan saya saksikan analisis para tokoh-tokoh politik mengenai ‘debat’ malam itu, banyak ungkapan kekecewaan bahkan prihatin mengenai fenomena yang muncul. Ditengah kritik pedas yang terlontar dari masing-masing calon maupun tim suksesnya, mengapa justru hanya tontonan ‘seperti itu’ yang terjadi akhirnya. Padahal jika mungkin, ‘debat’ yang lalu seharusnya menjadi klimaks dari semua tuduhan yang selama ini saling dilempar, entah ‘poco-poco’, ‘yoyo’, ekonomi neo liberalisme, lamban, dan sebagainya. Bahkan ada pendapat yang justru menyalahkan sang moderator sebagai pihak yang paling bersalah dalam berlangsungnya acara tersebut karena dianggap terlalu manut dan mengikuti arus yang telah terbentuk. Namun kemudian justru di luar area debat sang presiden, suasana yang lebih seru terjadi di tengah berkumpulnya para petinggi-petinggi tim sukses masing-masing. Entah ada aturan main apa yang sedang menggawangi acara malam itu, aturan main yang mungkin mampu menjaga wibawa sang calon presiden namun sangat tidak mencukupi rasa keingintahuan masyarakat.
Respon beragam langsung muncul di tengah masyarakat. Ketika usai ‘debat’, saya berselancar di dunia maya melalui facebook , banyak sekali status di profile masing-masing ‘mengutuk’ acara yang baru berlangsung. Banyak ungkapan kekecewaan terlontar, “debat dari hongkong?”, atau “bukan debat itu, diskusi lebih tepatnya”, ada lagi yang lebih kritis mengatakan “Capres kita memang warga negara Indonesia sebenarnya, yang terkenal dengan ewuh pakewuh, halus tutur katanya, dan penuh basa-basi”. Membaca semua argumen tersebut membuat saya tersenyum dan sedikit menelan ludah. Betapa masyarakat sangat antusias dan menaruh perhatian besar pada panggung politik yang tengah digelar. Inilah demokrasi, di tengah kekalutan politik, masyarakat masih bebas dan nyaman berargumen, bersuara dan mengeluarkan pikiran dalam bentuk apapun. Jika masyarakat bawah telah menyadari makna demokrasi tersebut, mengapa justru beliau-beliau terhormat sebagai calon pemimpin di negara demokrasi ini terkubur dalam budaya klasik yang jauh dari cita-cita demokrasi pada awalnya. Mungkin sebuah pesan berikut yang hanya akan didengar dan disaksikan oleh saya dan segelintir pembaca blog ini menjadi perwujudan rasa kalut kami, masyarakat Indonesia. “Marilah berbicara, ungkapkan yang sebenarnya, dan saksikan betapa kami masyarakat menaruh semangat dan kepedulian yang begitu besar untuk proses demokrasi ini...”

20/06/09

Perempuan harus tau..

Tulisan berikut saya kutip dari http://www.ubb.ac.id
“Tradisi Menulis yang Baik bagi para Wanita (Perempuan)”

Perempuan, Menulislah! Demi keadilan, kesetaraan, kemanusiaan dan kecantikan

Saya pikir, kita patut gembira menyambut maraknya kehadiran perempuan penulis di jagat perbukuan Indonesia. Semakin banyak perempuan yang bisa mengekspresikan dan menyebarkan luaskan gagasannya lewat tulisan adalah sinyal positif semakin dekatnya kita pada masyarakat yang berkeadilan.

Disadari atau tidak, struktur masyarakat yang tidak adil antara perempuan dan laki-laki masih terjadi pada masyarakat kita. Masalah ketidakadilan gender bukan semata masalah individu.Ada seperangkat paradigma yang sudah tertanam di kepala laki-laki yang berlaku tidak adil terhadap perempuan. Ini adalah persoalan masyarakat, budaya dan negara secara keseluruhan sebagai sebuah sistem sosial.

Bahasa mencerminkan masyarakat yang menggunakannya. Maka pada tataran masyarakat di mana terdapat struktur yang bias gender dan cenderung tidak adil terhadap perempuan, hal itu pulalah yang akan tercermin dalam bahasanya. Sebagai contoh, kita masih saja menggunakan istilah Wanita Tuna Susila(WTS) yang ditujukan pada perempuan pekerja seks. Namun istilah Laki-Laki Tuna Susila sebagai ‘pembeli’ jasa para perempuan pekerja seks atau laki-laki mucikari kerap tidak digunakan. Padahal kegiatan prostitusi hanya akan berlangsung sesuai hukum permintaan dan penawaran, yang melibatkan perempuan dan laki-laki. Lantas mengapa perempuan yang digelari ‘tuna susila’?

Menurut Michel Foucalt seorang filsuf mahzab Post-strukturalis, bahasa merangkum pengetahuan tentang dunia. Bila hendak dikritisi, bahasa yang kita gunakan bukanlah media yang netral melainkan representasi yang berperan dalam reproduksi makna. Maka bicara bahasa tidak dapat dilepaskan dari hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan subjek dan berbagai tindakan representasi dalam masyarakat.

Dalam masyarakat yang patriarki, pihak perempuanlah yang mengalami lack of power atau kelangkaan kekuasaan. Maka untuk memperbaiki struktur masyarakat yang lebih adil, strategi yang harus ditempuh perempuan adalah bicara! Menurut Foucalt untuk melawan, perempuan harus menjadi ‘subjek yang berbicara’ yang juga berarti "subjek dari pernyataan".

Diam dan bungkam akan menjadi tempat berteduh bagi kekuasaan, maka perempuan harus tampil, bicara dan menolak dijadikan objek. Seperti yang dikatakan Helen Cixous-feminis Prancis, sangat penting bagi perempuan untuk memecah kebisuan teks dengan melancarkan strategi yaitu bicara dan menulis.

Maka itu penting seorang perempuan untuk tampil sebagai subjek, dalam hal ini sebagai penulis. Kita sebagai perempuan memiliki kewajiban moril untuk menyuarakan suara-suara perempuan yang selama ini terbisukan demi dunia yang lebih adil, lebih setara, dan lebih manusiawi (bagi perempuan) seperti yang kita impi-impikan.

Kemudian, menulislah demi kecantikan kita. Fatimah Mernissi seorang feminis Marokko menulis dalam bukunya Women's Rebellion and Islamic Memory bahwa menulis lebih baik ketimbang operasi pengencangan kulit wajah atau krim pelembab.


Usahakan menulis setiap hari. Niscaya kulit Anda akan menjadi segar kembali akibat kandunganmanfatnya yang luar biasa! Dari saat Anda bangun, Menulis meningkatkan aktivitas sel. Dengan coretan pertama di atas kertas kosong, kantung di bawah mata Anda akan segera lenyap dan kulit Anda akan terasa segar lagi. Menjelang tengah hari, ia berada pada kondisi prima. Dengan kandungan aktifnya, menulis menguatkan struktur kulit ari Anda. Pada akhir hari, kerut- kerut Anda sudah memudar dan wajah Anda menjadi lembut kembali.

Rahasia yang terdapat dalam menulis adalah membuat seorang yang acuh tak acuh menjadi pembaca yang penuh perhatian. Menurut Fatimah begitu kita telah belajar menulis-yaitu menyampaikan suatu pesan yang dekat dengan hati kita- orang lain yang sebelumnya acuh tak acuh, kini akan menaruh lebih banyak perhatian untuk mengetahui apa yang harus kita katakan. Sehingga kita tidak perlu berteriak-teriak agar didengarkan. Untuk mengubah orang-orang di sekitar kita, pertama-tama kita harus mengubah diri kita sendiri. Perubahan orang lain hanyalah konsekuensi dari perubahan sikap kita dalam memandang diri kita dan orang lain. Kita harus percaya bahwa yang hendak kita sampaikan adalah sesuatu yang penting dan karenanya harus disampaikan dengan cara yang baik pula.

Tentunya kita tidak mengadopsi teori Fatimah Mernissi, Menulis = Obat Mujarab untuk Awet Muda, tersebut secara harfiah. Kecantikan adalah sesuatu yang sifatnya inside-out. Kita bisa menjadi cantik karena sikap hidup kita yang positif dan produktif dalam berkarya. Tinggalkan krim wajah dan pil diet. Ambil pulpen dan kertas, mulailah menulis. Menulis apa saja. Ketidaknyamanan kita ketika disuit-suiti laki-laki di jalan, kejengkelan kita ketika ada yang mengomentari bagian tubuh kita yang pribadi, kemarahan kita membaca berita perkosaan perempuan di koran. Apa saja.

Maka perempuan, menulislah! Demi impian-impian kita tentang dunia yang lebih adil, lebih setara, dan lebih berkemanusiaan buat perempuan. Biar dunia ini bisa mendengar kegelisahan-kegelisahan kita, pengalaman-pengalaman kita, ide-ide gila kita, para perempuan. Dan tentu saja menjadi lebih cantik dengan standar yang kita buat sendiri. Tidak melulu berkulit putih, bertubuh seksi, dan berambut lurus panjang seperti standar yang dibuat oleh masyarakat patriarkat ini!

NB :
Sangat sependapat dengan tulisan di atas!!
..dan saya pikir, itulah alasan yang paling rasional, mengapa saya menulis..

Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya...

Merasa familiar dengan jargon iklan tersebut ? ya, memang tidak ada yang aneh dalam jargon tersebut, maknanyapun saat itu hanya berkisar pada ajakan untuk menggunakan produk yang diiklankan. Namun dibalik kata-kata sederhana yang terangkai tersebut, ada sebuah fakta yang seringkali kita akui kebenarannya. Bahwa pandangan pertama selalu membawa kesan yang terdalam dan seringkali menjadi salah satu hal yang mendominasi penilaian kita terhadap suatu benda atau seseorang.

Jika melihat kondisi saat ini yang ramai dengan hiruk pikuk kampanye, debat kandidat, pidato politik, atau jargon-jargon kreatif yang di usung capres dan cawapres yang akan berlaga di Pemilu 2009 ini, kita akan disuguhi dengan aksi-aksi atau kata-kata menarik nan mengundang. SBY Berbudi saat ini secara positif lekat dengan kesan bijaksana, mengayomi, dan perpaduan yang harmonis antara dua orang yang saling melengkapi dari dua bidang profesi yang berlainan. Sedangkan JK Win, sisi positif mereka tergambar dalam ketegasan, tidak ragu-ragu, dan mengutamakan aksi konkrit dalam bertindak. Dan calon terakhir yaitu Mega Pro yang tak lain adalah satu-satunya capres wanita di pemilu 2009 ini adalah bahwa mereka berasal dari aliran partai yang sama, berbasis kerakyatan dan seringkali lekat dengan ungkapan wong cilik untuk menggambarkan bahwa calon ini merakyat dan bersimpati penuh kepada penderitaan rakyat. Lebih dari pada itu, sisi negatif yang tercipta seringkali juga mendominasi keseluruhan pandangan terhadap calon-calon tersebut. Kesan berpihak pada pihak asing, terlalu agresif dan berorientasi bisnis atau kesan sebagai provokator dan pihak oposisi dari calon incumbent adalah sebagian kecil dari sisi negatif yang ditangkap masyarakat. Tidak dapat dipersalahkan, aspirasi atau pandangan semacam itu muncul dengan sendirinya akibat doktrin media, maupun dari analisis tokoh-tokoh atau pemerhati politik, ekonomi dan psikologi yang saat ini banyak muncul dalam diskusi-diskusi publik.

Untuk itu, kemudian pembahasan meruncing pada sejauh mana penampilan di depan publik dari calon-calon tersebut turut mempengaruhi opini yang berkembang. Seperti disebutkan di awal, bahwa kesan yang terdalam seringkali muncul dari pandangan atau penilaian pertama. Maka dari itu, kita kenal fenomena Hello Effect yang menunjukkan betapa penampilan, atau kesan pertama sangat mempengaruhi penilaian akan sesuatu hal. Menurut Catur Suryoprianto (2009) Hello Effect adalah bias sistematik dalam penilaian terhadap suatu subyek, yang terjadi karena melakukan generalisasi dari satu aspek penilaian sehingga mempengaruhi seluruh aspek penilaian. Terjadinya Hello Effect dikarenakan cara berpikir individu yang cenderung membuat kategorisasi-kategorisasi mengenai sifat manusia, yaitu kategorisasi sifat-sifat baik dan sifat-sifat buruk. Melihat dari kecenderungan Hello Effect, maka pertanyaan yang muncul adalah apakah kesan yang ditampilkan di media benar-benar murni merupakan perangai atau orientasi dari calon-calon tersebut. Jangan-jangan, karena adanya kesadaran terhadap Hello Effect yaitu mengenai pentinganya kesan pertama, maka mereka justru berlomba untuk mendapatkan simpati publik dengan kata-kata manis, janji-janji surga dan perangai santun yang bakal memikat calon konstituen.
Adalah hal yang wajar jika upaya menarik simpati dilakukan pada masa dimana pilihan publik adalah yang menentukan hasil akhirnya. Namun perlu diingat pula bahwa tidak selamanya kesan pertama yang tercipta akibat lawatan calon-calon ke berbagai daerah, atau gaya berkampanye yang diusung ketiganya merupakan wujud asli yang nantinya akan membawa kemajuan bagi bangsa Indonesia. Sebuah optimisme dan pemikiran positif menutup tulisan ini, bahwa kesan terbaik yang berusaha ditampilkan oleh para calon di atas adalah wujud dari betapa mereka menghargai dan menganggap kita sebagai calon pemilih yang penting untuk didahulukan yang nantinya akan menentukan nasib mereka. Tentunya sebuah harapan terbersit kepada semua calon agar opini positif yang telah terbentuk dapat dibuktikan ketika mereka berhasil menduduki tampuk kepemimpinan pada periode lima tahun kedepan.

17/06/09

Beranjak dari kamar kos (bagian I)


Pikiran dan angan ini kembali berulah, ketika tanpa diduga sebuah bayangan melintas dan berbicara tentang rasa memiliki seorang perantau di lingkungan baru yang pada mulanya sangat asing dan menyedihkan. Bagaimana sebuah rasa memiliki itu muncul, hingga terkadang tanpa sadar selalu menyebut tempat 'yang awalnya asing' itu sebagai rumahku..
Di tengah lalu lalang roda mesin yang berputar itu, ada kesadaran bahwa kini disinilah hidupku..disinilah duniaku, dan dilingkungan inilah aku menyebutnya, tempatku..tak ada lagi tersisa sebuah penyesalan mengapa aku harus memilih tempat ini dahulu.

>> Hampir genap 24 bulan keberadaan saya di kota seribu budaya ini, berusaha bertahan di tengah idealisme yang berkembang cepat..dan kejam. Ketika angin malam yang dingin turun dari puncak Merapi dan menerpa dataran rendah di sepanjang Kaliurang, sebuah kesibukan atau rutinitas menjejali pikiran dan menjajah kebebasan saya. Kehausan akan hal-hal baru, pengalaman dan keingintahuan yang membuncah,mengantar saya untuk menjelajah kota yang ramah ini. Seakan terdengar di telinga saya, iringan gamelan dan nada sendu seorang sinden melantunkan tembang Jawa kuno hingga campursari nyleneh sepanjang hari di kota ini. Angin malam tak henti menerpa, dan kekaguman akan pesona kota kian memikat hati saya. Hingga sebuah trotoar kusam, hitam dan putih kotor yang tertangkap mata saya menjadi sebuah kenangan tersendiri untuk kembali saya putar kelak di tengah buaian dejavu.

>> Keraton, lambang kedigdayaan dan kemasyuran kala itu menarik saya untuk kembali berangan-angan dan membayangkan apa yang terjadi 1000 tahun silam di tempat saya berdiri ini. Senang rasanya, di tengah bangunan-bangunan tua yang masih tegak berdiri, terungkap sebuah kesadaran akan fakta adanya dinamika kehidupan di tempat ini waktu itu. Kembali saya memejamkan mata, mengasingkan raga ini sejenak dari hingar bingar kota untuk kembali bermajinasi pada sebuah kehidupan masa lampau yang masih erat dengan perebutan kekuasaan raja, pemujaan dalam arti sebenarnya kepada raja, dan pendewaan kepada raja.
Dalam angan saya, teringat sebuah kisah yang pernah saya dengar mengenai aturan protokoler yang mesti dilakukan rakyat jika ingin bertemu dengan rajanya untuk mengadukan persoalan yang tengah dihadapi. Karena ingatan itu, muncul sebuah bayangan seorang pria berbaju putih-putih di tengah hamparan tanah kosong tepat di depan bangunan keraton, lurus dengan muka keraton hingga dengan mudahnya Sang Raja dapat memandang ke arah pria tersebut. Terbayang betapa pengorbanannya untuk tetap berada di tempat itu menunggu sang Raja berkenan untuk memanggil dan menanyakan keluh kesahnya. Pemujaan dan rasa hormat yang begitu besar membawa ketaatan yang luar biasa dalam bagi rakyat Yogya di masa itu terhadap rajanya.
Sungguh sebuah dinamika kehidupan yang hingga saat ini menyisakan sebuah tanya bagi saya, kekuatan apa yang menggerakkan karisma seorang raja pada waktu itu? dan aura apa yang mampu menundukkan kepala rakyat hingga rela menyamaratakan diri dengan tanah untuk alasan sebuah pengabdian kepada rajanya?

>> Bergerak menuju tengah kota di waktu malam menyentak hati saya. Betapa waktu tidak lagi memiliki wibawanya di tempat ini. Tua muda memenuhi jalan hingga lewat tengah malam seolah tak peduli dengan adanya batas waktu malam, siang, sore, pagi, petang, dan lain sebagainya. Banyak hal saya rekam dalam ingatan saya, ketika melalui Malioboro dengan aktivitas perekonomiannya, warung-warung burjo di sepanjang jalan yang menemani 'sindrom rasa lapar tengah malam' saya, dan kerlap kerlip bintang di kejauhan seolah turut menunduk menyaksikan kesibukan yang seakan tak pernah terhenti di kota ini. Malam itu, melaju dengan ringan di tengah terpaan sinar lampu sepanjang jalan, membawa alam bawah sadar saya untuk kembali berujar, inilah tempat saya..tempat dimana seringkali saya menujunya untuk pulang..

13/06/09

“Sebagai Orang Jawa, Ini yang SAYA Rasakan..”


(hanya sebuah ungkapan atas apa yang saya rasakan, tanpa bermaksud men-generalisasikan semua pihak yang memiliki latar belakang sama dengan saya)

Bukan salah siapapun hingga adat orang Jawa kental dan sangat identik dengan diam, nrimo, penuh basa-basi, mendem, pekewuhan, dan banyak sifat lain yang pada intinya jauh dari kata blak-blakan. Bukan salah siapapun juga bila faktanya saya seorang Jawa tulen dengan keturunan mayoritas dari Jawa pula. Sekali lagi, tidak ada yang salah bila akhirnya sifat Jawa itu sangat melekat dan mendarah daging di dalam diri saya. Sepintas tidak ada yang salah dengan hal tersebut, walaupun seiring dengan berjalannya waktu dan banyaknya interaksi yang saya lakukan dengan beragam orang membuat sifat tersebut menjadi beban. Beban bagi saya yang pada dasarnya senang jika semuanya terbuka, terus terang dan saya akui memang cenderung blak-blakan. Pakem yang kuat tentang orang Jawa melingkupi keseharian saya di lingkungan keluarga. Di luar itu, entah sudah berapa macam budaya dari jenis apapun saya rasakan. Banyak budaya dari pulau-pulau di sekeliling Jawa yang terkadang membuat saya iri, terutama bagaimana mereka seakan bisa dengan mudahnya berkata apapun yang diinginkan. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa budaya jawa tidak menghendaki kita berkata jujur, namun pada akhirnya sifat basa-basi, mendem dan sebagainya itu bermuara pada satu maksud bahwa kita tidak harus berkata jujur jika hal tersebut sekiranya menyakitkan bagi yang lain. Kini, beberapa dari mereka berkata bahwa budaya ‘blak-blakan’ telah menjadi salah satu ciri khas saya, namun mereka tidak tahu bahwa hal tersebut saya lakukan jika saya anggap memang pada situasi yang pas, pas untuk berkata jujur, bukan ‘blak-blakan’.

Pada akhirnya, adat orang Jawa tetap mendominasi pribadi saya. Walaupun dengan itu, seringkali saya merasakan apa yang orang sebut dengan sakit hati, karena di sekeliling saya kondisi yang terjadi terkadang berada pada satu fase yang seolah tidak menghendaki saya marah dan tetap diam meskipun sebenarnya hal tersebut menyinggung perasaan saya. Terkadang saya merasa berada pada satu posisi dimana saya terus dipaksa untuk ‘memaklumi’ dan ‘pengertian’ terhadap orang lain, namun tak banyak dari mereka yang bisa ‘memaklumi’ saya. Entah mengapa, budaya Jawa dalam kata mendem begitu menguras tenaga. Seringkali saya memendam apa yang saya rasakan dan saya pikirkan demi menjaga perasaan yang lain. Namun tidak mudah, saya hanya bisa mengernyitkan dahi dan sedikit memasamkan muka jika ada sesuatu yang menyinggung. Selebihnya, saya tidak pernah ‘tega’ untuk berbalas menyerangnya seketika itu juga dengan kata-kata atau perbuatan yang sama ‘menyakitkannya’ agar saya lega dan puas.
Lelah memang, dan terpaksa saya katakan bahwa sifat orang Jawa yang telah melekat dalam diri saya (terutama pada sifat mendem, pekewuhan) menjadi beban dan terkadang harus mengorbankan perasaan saya. Sesungguhnya, tidak ada yang salah dengan semua ini. Semua hal di muka bumi telah menempati relnya masing-masing, semua mengalir dengan sendirinya hingga membentuk harmonisasi yang selaras. Perwatakan manusiapun demikian adanya, kasar, halus, santun dan banyak watak lainnya menjadi warna-warni hidup yang saya nikmati. Namun perlu saya tegaskan disini, perangai apapun yang saya miliki pada dasarnya hanya ungkapan jujur saya sebagai manusia. Dimana saya sebagai manusia memiliki akal, rasa, dan emosi yang mungkin bisa meletup seketika jika ada hal-hal yang saya rasa mengganjal dan tidak dapat saya terima dengan akal dan emosi saya. Maka jika sewaktu-waktu ada ungkapan ‘jujur’ keluar dari perkataan saya, itulah moment indah dan melegakan bagi saya karena saya dapat mengngkapkan hal yang sebenarnya saya rasakan. Meskipun seperti yang telah saya kemukakan sejak awal, tidak banyak moment-moment ‘indah dan melegakan’ tersebut dapat saya rasakan, karena adat orang Jawa yang begitu melekat memaksa saya untuk tetap tersenyum dengan penuh basa-basi walaupun hati saya sakit, atau memaksa saya untuk tetap diam meskipun suatu ketika perkataan orang lain menyakitkan bagi hati saya yang lunak khas Orang Jawa.
Tapi apapun itu, adat atau kekhasan orang Jawalah yang menjadikan saya terus berusaha untuk belajar beradaptasi dan memaklumi apa yang terjadi di sekeliling saya dengan diam dan mengamati, adat orang Jawalah yang membuat saya mampu bertahan untuk tetap tenang seolah tidak terjadi apa-apa dalam kondisi yang ‘aneh’, adat orang Jawalah yang seringkali membuat saya terpaksa berkata ‘iya’ meskipun saya ingin berkata 'tidak' karena sifat pekewuhan terhadap orang lain, dan pada akhirnya, adat orang Jawalah yang sering dan sangat sering membuat saya harus berkorban perasaan karena memendam apa yang saya rasakan akibat perilaku atau perkataan orang lain yang sebenarnya menyakitkan.

07062009