(hanya sebuah ungkapan atas apa yang saya rasakan, tanpa bermaksud men-generalisasikan semua pihak yang memiliki latar belakang sama dengan saya)
Bukan salah siapapun hingga adat orang Jawa kental dan sangat identik dengan diam, nrimo, penuh basa-basi, mendem, pekewuhan, dan banyak sifat lain yang pada intinya jauh dari kata blak-blakan. Bukan salah siapapun juga bila faktanya saya seorang Jawa tulen dengan keturunan mayoritas dari Jawa pula. Sekali lagi, tidak ada yang salah bila akhirnya sifat Jawa itu sangat melekat dan mendarah daging di dalam diri saya. Sepintas tidak ada yang salah dengan hal tersebut, walaupun seiring dengan berjalannya waktu dan banyaknya interaksi yang saya lakukan dengan beragam orang membuat sifat tersebut menjadi beban. Beban bagi saya yang pada dasarnya senang jika semuanya terbuka, terus terang dan saya akui memang cenderung blak-blakan. Pakem yang kuat tentang orang Jawa melingkupi keseharian saya di lingkungan keluarga. Di luar itu, entah sudah berapa macam budaya dari jenis apapun saya rasakan. Banyak budaya dari pulau-pulau di sekeliling Jawa yang terkadang membuat saya iri, terutama bagaimana mereka seakan bisa dengan mudahnya berkata apapun yang diinginkan. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa budaya jawa tidak menghendaki kita berkata jujur, namun pada akhirnya sifat basa-basi, mendem dan sebagainya itu bermuara pada satu maksud bahwa kita tidak harus berkata jujur jika hal tersebut sekiranya menyakitkan bagi yang lain. Kini, beberapa dari mereka berkata bahwa budaya ‘blak-blakan’ telah menjadi salah satu ciri khas saya, namun mereka tidak tahu bahwa hal tersebut saya lakukan jika saya anggap memang pada situasi yang pas, pas untuk berkata jujur, bukan ‘blak-blakan’.
Pada akhirnya, adat orang Jawa tetap mendominasi pribadi saya. Walaupun dengan itu, seringkali saya merasakan apa yang orang sebut dengan sakit hati, karena di sekeliling saya kondisi yang terjadi terkadang berada pada satu fase yang seolah tidak menghendaki saya marah dan tetap diam meskipun sebenarnya hal tersebut menyinggung perasaan saya. Terkadang saya merasa berada pada satu posisi dimana saya terus dipaksa untuk ‘memaklumi’ dan ‘pengertian’ terhadap orang lain, namun tak banyak dari mereka yang bisa ‘memaklumi’ saya. Entah mengapa, budaya Jawa dalam kata mendem begitu menguras tenaga. Seringkali saya memendam apa yang saya rasakan dan saya pikirkan demi menjaga perasaan yang lain. Namun tidak mudah, saya hanya bisa mengernyitkan dahi dan sedikit memasamkan muka jika ada sesuatu yang menyinggung. Selebihnya, saya tidak pernah ‘tega’ untuk berbalas menyerangnya seketika itu juga dengan kata-kata atau perbuatan yang sama ‘menyakitkannya’ agar saya lega dan puas.
Lelah memang, dan terpaksa saya katakan bahwa sifat orang Jawa yang telah melekat dalam diri saya (terutama pada sifat mendem, pekewuhan) menjadi beban dan terkadang harus mengorbankan perasaan saya. Sesungguhnya, tidak ada yang salah dengan semua ini. Semua hal di muka bumi telah menempati relnya masing-masing, semua mengalir dengan sendirinya hingga membentuk harmonisasi yang selaras. Perwatakan manusiapun demikian adanya, kasar, halus, santun dan banyak watak lainnya menjadi warna-warni hidup yang saya nikmati. Namun perlu saya tegaskan disini, perangai apapun yang saya miliki pada dasarnya hanya ungkapan jujur saya sebagai manusia. Dimana saya sebagai manusia memiliki akal, rasa, dan emosi yang mungkin bisa meletup seketika jika ada hal-hal yang saya rasa mengganjal dan tidak dapat saya terima dengan akal dan emosi saya. Maka jika sewaktu-waktu ada ungkapan ‘jujur’ keluar dari perkataan saya, itulah moment indah dan melegakan bagi saya karena saya dapat mengngkapkan hal yang sebenarnya saya rasakan. Meskipun seperti yang telah saya kemukakan sejak awal, tidak banyak moment-moment ‘indah dan melegakan’ tersebut dapat saya rasakan, karena adat orang Jawa yang begitu melekat memaksa saya untuk tetap tersenyum dengan penuh basa-basi walaupun hati saya sakit, atau memaksa saya untuk tetap diam meskipun suatu ketika perkataan orang lain menyakitkan bagi hati saya yang lunak khas Orang Jawa.
Tapi apapun itu, adat atau kekhasan orang Jawalah yang menjadikan saya terus berusaha untuk belajar beradaptasi dan memaklumi apa yang terjadi di sekeliling saya dengan diam dan mengamati, adat orang Jawalah yang membuat saya mampu bertahan untuk tetap tenang seolah tidak terjadi apa-apa dalam kondisi yang ‘aneh’, adat orang Jawalah yang seringkali membuat saya terpaksa berkata ‘iya’ meskipun saya ingin berkata 'tidak' karena sifat pekewuhan terhadap orang lain, dan pada akhirnya, adat orang Jawalah yang sering dan sangat sering membuat saya harus berkorban perasaan karena memendam apa yang saya rasakan akibat perilaku atau perkataan orang lain yang sebenarnya menyakitkan.
07062009
Bukan salah siapapun hingga adat orang Jawa kental dan sangat identik dengan diam, nrimo, penuh basa-basi, mendem, pekewuhan, dan banyak sifat lain yang pada intinya jauh dari kata blak-blakan. Bukan salah siapapun juga bila faktanya saya seorang Jawa tulen dengan keturunan mayoritas dari Jawa pula. Sekali lagi, tidak ada yang salah bila akhirnya sifat Jawa itu sangat melekat dan mendarah daging di dalam diri saya. Sepintas tidak ada yang salah dengan hal tersebut, walaupun seiring dengan berjalannya waktu dan banyaknya interaksi yang saya lakukan dengan beragam orang membuat sifat tersebut menjadi beban. Beban bagi saya yang pada dasarnya senang jika semuanya terbuka, terus terang dan saya akui memang cenderung blak-blakan. Pakem yang kuat tentang orang Jawa melingkupi keseharian saya di lingkungan keluarga. Di luar itu, entah sudah berapa macam budaya dari jenis apapun saya rasakan. Banyak budaya dari pulau-pulau di sekeliling Jawa yang terkadang membuat saya iri, terutama bagaimana mereka seakan bisa dengan mudahnya berkata apapun yang diinginkan. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa budaya jawa tidak menghendaki kita berkata jujur, namun pada akhirnya sifat basa-basi, mendem dan sebagainya itu bermuara pada satu maksud bahwa kita tidak harus berkata jujur jika hal tersebut sekiranya menyakitkan bagi yang lain. Kini, beberapa dari mereka berkata bahwa budaya ‘blak-blakan’ telah menjadi salah satu ciri khas saya, namun mereka tidak tahu bahwa hal tersebut saya lakukan jika saya anggap memang pada situasi yang pas, pas untuk berkata jujur, bukan ‘blak-blakan’.
Pada akhirnya, adat orang Jawa tetap mendominasi pribadi saya. Walaupun dengan itu, seringkali saya merasakan apa yang orang sebut dengan sakit hati, karena di sekeliling saya kondisi yang terjadi terkadang berada pada satu fase yang seolah tidak menghendaki saya marah dan tetap diam meskipun sebenarnya hal tersebut menyinggung perasaan saya. Terkadang saya merasa berada pada satu posisi dimana saya terus dipaksa untuk ‘memaklumi’ dan ‘pengertian’ terhadap orang lain, namun tak banyak dari mereka yang bisa ‘memaklumi’ saya. Entah mengapa, budaya Jawa dalam kata mendem begitu menguras tenaga. Seringkali saya memendam apa yang saya rasakan dan saya pikirkan demi menjaga perasaan yang lain. Namun tidak mudah, saya hanya bisa mengernyitkan dahi dan sedikit memasamkan muka jika ada sesuatu yang menyinggung. Selebihnya, saya tidak pernah ‘tega’ untuk berbalas menyerangnya seketika itu juga dengan kata-kata atau perbuatan yang sama ‘menyakitkannya’ agar saya lega dan puas.
Lelah memang, dan terpaksa saya katakan bahwa sifat orang Jawa yang telah melekat dalam diri saya (terutama pada sifat mendem, pekewuhan) menjadi beban dan terkadang harus mengorbankan perasaan saya. Sesungguhnya, tidak ada yang salah dengan semua ini. Semua hal di muka bumi telah menempati relnya masing-masing, semua mengalir dengan sendirinya hingga membentuk harmonisasi yang selaras. Perwatakan manusiapun demikian adanya, kasar, halus, santun dan banyak watak lainnya menjadi warna-warni hidup yang saya nikmati. Namun perlu saya tegaskan disini, perangai apapun yang saya miliki pada dasarnya hanya ungkapan jujur saya sebagai manusia. Dimana saya sebagai manusia memiliki akal, rasa, dan emosi yang mungkin bisa meletup seketika jika ada hal-hal yang saya rasa mengganjal dan tidak dapat saya terima dengan akal dan emosi saya. Maka jika sewaktu-waktu ada ungkapan ‘jujur’ keluar dari perkataan saya, itulah moment indah dan melegakan bagi saya karena saya dapat mengngkapkan hal yang sebenarnya saya rasakan. Meskipun seperti yang telah saya kemukakan sejak awal, tidak banyak moment-moment ‘indah dan melegakan’ tersebut dapat saya rasakan, karena adat orang Jawa yang begitu melekat memaksa saya untuk tetap tersenyum dengan penuh basa-basi walaupun hati saya sakit, atau memaksa saya untuk tetap diam meskipun suatu ketika perkataan orang lain menyakitkan bagi hati saya yang lunak khas Orang Jawa.
Tapi apapun itu, adat atau kekhasan orang Jawalah yang menjadikan saya terus berusaha untuk belajar beradaptasi dan memaklumi apa yang terjadi di sekeliling saya dengan diam dan mengamati, adat orang Jawalah yang membuat saya mampu bertahan untuk tetap tenang seolah tidak terjadi apa-apa dalam kondisi yang ‘aneh’, adat orang Jawalah yang seringkali membuat saya terpaksa berkata ‘iya’ meskipun saya ingin berkata 'tidak' karena sifat pekewuhan terhadap orang lain, dan pada akhirnya, adat orang Jawalah yang sering dan sangat sering membuat saya harus berkorban perasaan karena memendam apa yang saya rasakan akibat perilaku atau perkataan orang lain yang sebenarnya menyakitkan.
07062009
tapi yang saya heran orang jawa itu sangat suka menjelek2kan orang melebihi kenyataan(hal ini biasanya dilakukan dibelakang)..yang jatuhnya kebanyakan fitnah...
BalasHapusmaaf..sya tdk bermaksud mengarahkan diskusi ini untuk menyudutkan satu pihak tertentu..toh mohon dibaca lagi, saya jga tidak sedikitpun menjelek jelekkan pihak tertentu di dlm tulisan sya...bahkan saya mengkritik 'lunaknya' budaya saya sendiri dg gaya saya pribadi...
BalasHapusperlu jga anda tahu..sya justru seringkali mengakui kebenaran dr perkataan beberapa org pada saya "sekali kali main nainlah ke sumatra,sulawesi, kalimantan,dan lainnya.." maksudnya anda tau? agar sya tdk semakin dalam berkutat dg budaya Jawa yg bisa jadi menghambat untuk beberapa hal..
jadi mas rio..ayolah berdialektika dg tenang..jgn belum-belum sdh memulainya dg provokasi tanpa dasar..yg anda katakan orang jawa itu siapa?semua org dr jawa?atau justru hanya segelintir 'oknum' yg kebetulan beretnis jawa dan memiliki perangai demikian..kadang2 komentar singkat bisa menuai perdebatan lho, apalagi kalau dilakukan tnpa argumen yg benar..
mgkin kita bisa bljr lebih objektif untuk mempolakan orang2 di sekeliling kita..apakh ia demikian karena ke'jawaannya sehingga patut disebut bahwa 'org jawa itu demikian..demikian..demikian.." atau sbenarnya ada akibat2 lain yg lbh melatarbelakangi tindkan seseorang shg berbuat demikian..di luar mslh etnisitas..
trmakasih yaa sdh berkenan mampir..