30/06/09

Alkid di masa kami

Kali ini saya tidak sendiri, beberapa sahabat menemani saya untuk menikmati eksotisme Yogya di waktu malam..
Sebagai seorang pendatang yang baru mengenal Yogya dalam jangkauan yang terbatas, saya termasuk salah satu yang sangat terinspirasi untuk menuangkan tiap detik dinamika Yogya dalam untaian kata-kata seperti ini. Bagi saya, lewat media seperti inilah ungkapan dan kesan saya akan suatu hal tidak akan sia-sia belaka.

Dimulai tepat pukul 19.00 menurut versi waktu kami, saya mencoba mengusulkan untuk mencari situasi baru di luar lingkungan tempat tinggal kami di daerah Karangasem. sudah menjadi sebuah tradisi bahwa masa 'perpisahan' sebelum liburan panjang pasca ujian akhir, kami lalui dengan touring ke suatu tempat yang biasanya tidak jauh-jauh dari objek pantai, atau gunung. Namun kali ini kesibukan teman-teman membuat kami tidak dapat mengalokasikan waktu barang sehari saja untuk pesta 'perpisahan' semester ini. Tak apalah, yang jelas kebersamaan kami malam ini cukup mengobati kekecewaan saya, walaupun hanya dengan duduk-duduk beralas tikar dan beratap bintang, ditemani kacang rebus dan wedhang ronde. Dan kali ini tempat yang kami tuju adalah sebuah lapangan berdebu yang dihiasi dua pohon beringin di tengah area. Sudah dapat ditebak, malam itu kami menghabiskan waktu di alun-alun, dan pilihan kami jatuh pada alun-alun kidul Yogyakarta.

Bagi yang belum tau, sedikit saya ungkap cerita mengenai alun-alun kidul ini. Tempatnya sekilas sangat tidak menarik bagi anda yang mengharapkan hiburan mewah dan berkelas, hanya temaram lampu angkringan, tikar, dan kerlap-kerlip 'kunang-kunang' yang dijajakan banyak pedagang disana. Namun justru disanalah tempat hiburan yang menurut saya menyentuh semua kalangan, walaupun biasanya ketertarikan pengunjung lebih dilatarbelakangi oleh romantisme masa lalu, atau ketertarikan akan mitos yang berkembang.
Secara harfiah, dapat kita ketahui bahwa alun-alun kidul (alkid) terletak di bagian kidul atau selatan keraton Yogyakarta. Disebut pula pengkeran atau pengker yang berarti sama dengan mburi atau belakang. Jadi, alkid ini letaknya di belakang Keraton Yogyakarta. Di tengah masyarakat Jawa yang penuh dengan filosofi, keberadaan dua pohon beringin di tengah alun-alun dimaknai sebagai supit urang atau capit udang (infoyogya.com).

Mengenai kondisi fisik alkid, sejauh yang saya ingat sejak kedatangan saya dua tahun lalu ke Kota Yogya, kondisi rumput di alun-alun kidul memang menjadi sangat berkurang. Terutama rumput yang mengarah ke tengah di antara dua pohon beringin, kegersangan tersebut membuat banyak debu beterbangan bahkan di malam hari.
Yang lain dan menarik mengenai alkid adalah mitosnya, kabarnya bahwa siapapun yang bisa berjalan lurus dengan mata tertutup hingga tepat di tengah dua pohon beringin adalah orang-orang yang berhati bersih. Menariknya, mitos tersebut justru menjadi daya tarik dan difasilitasi oleh pedagang disana dengan jasa penyewaan penutup mata. Jangan mengira pekerjaan tersebut mudah, seringkali banyak orang yang melenceng jauh dari tengah pohon beringin, bahkan pernah saya saksikan salah seorang pengunjung berjalan berlawanan arah dari kedua pohon beringin, jika demikian maka kesimpulannya orang tersebut (tidak) berhati bersih. Boleh percaya atau tidak, yang namanya mitos memang seringkali tidak dapat dijelaskan dengan logika, mayoritas pengunjungpun saya rasa hanya menganggap itu sebagai hiburan dan terbawa suasana di tengah riuhnya alun-alun kidul. Bagi saya, cukuplah sekali waktu saya mencoba mengikuti mitos dan dengan suksesnya melenceng dari tengah pohon beringin, jadi artinya ? ah sudahlah...yang penting cobalah berkunjung dan nikmati malam di tengah gurauan muda-mudi di tepi lapangan, dan suara-suara merdu pengamen yang mencoba mengais rejeki di antara pengunjung yang menghabiskan malam di alun-alun kidul.


Menikmati suasana tersebut cukup menjadi hiburan di tengah kepenatan tugas dan rutinitas sehari-hari. Dinginnya malam ditambah dengan riuhnya alun-alun kidul semakin membuat saya tidak segera ingin beranjak pulang, bahkan dengan keterbatasan fasilitas yang ada, membuat saya dapat lebih bebas menikmati euforia yang terjadi di sekeliling.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar