Pikiran dan angan ini kembali berulah, ketika tanpa diduga sebuah bayangan melintas dan berbicara tentang rasa memiliki seorang perantau di lingkungan baru yang pada mulanya sangat asing dan menyedihkan. Bagaimana sebuah rasa memiliki itu muncul, hingga terkadang tanpa sadar selalu menyebut tempat 'yang awalnya asing' itu sebagai rumahku..
Di tengah lalu lalang roda mesin yang berputar itu, ada kesadaran bahwa kini disinilah hidupku..disinilah duniaku, dan dilingkungan inilah aku menyebutnya, tempatku..tak ada lagi tersisa sebuah penyesalan mengapa aku harus memilih tempat ini dahulu.
>> Hampir genap 24 bulan keberadaan saya di kota seribu budaya ini, berusaha bertahan di tengah idealisme yang berkembang cepat..dan kejam. Ketika angin malam yang dingin turun dari puncak Merapi dan menerpa dataran rendah di sepanjang Kaliurang, sebuah kesibukan atau rutinitas menjejali pikiran dan menjajah kebebasan saya. Kehausan akan hal-hal baru, pengalaman dan keingintahuan yang membuncah,mengantar saya untuk menjelajah kota yang ramah ini. Seakan terdengar di telinga saya, iringan gamelan dan nada sendu seorang sinden melantunkan tembang Jawa kuno hingga campursari nyleneh sepanjang hari di kota ini. Angin malam tak henti menerpa, dan kekaguman akan pesona kota kian memikat hati saya. Hingga sebuah trotoar kusam, hitam dan putih kotor yang tertangkap mata saya menjadi sebuah kenangan tersendiri untuk kembali saya putar kelak di tengah buaian dejavu.
>> Keraton, lambang kedigdayaan dan kemasyuran kala itu menarik saya untuk kembali berangan-angan dan membayangkan apa yang terjadi 1000 tahun silam di tempat saya berdiri ini. Senang rasanya, di tengah bangunan-bangunan tua yang masih tegak berdiri, terungkap sebuah kesadaran akan fakta adanya dinamika kehidupan di tempat ini waktu itu. Kembali saya memejamkan mata, mengasingkan raga ini sejenak dari hingar bingar kota untuk kembali bermajinasi pada sebuah kehidupan masa lampau yang masih erat dengan perebutan kekuasaan raja, pemujaan dalam arti sebenarnya kepada raja, dan pendewaan kepada raja.
Dalam angan saya, teringat sebuah kisah yang pernah saya dengar mengenai aturan protokoler yang mesti dilakukan rakyat jika ingin bertemu dengan rajanya untuk mengadukan persoalan yang tengah dihadapi. Karena ingatan itu, muncul sebuah bayangan seorang pria berbaju putih-putih di tengah hamparan tanah kosong tepat di depan bangunan keraton, lurus dengan muka keraton hingga dengan mudahnya Sang Raja dapat memandang ke arah pria tersebut. Terbayang betapa pengorbanannya untuk tetap berada di tempat itu menunggu sang Raja berkenan untuk memanggil dan menanyakan keluh kesahnya. Pemujaan dan rasa hormat yang begitu besar membawa ketaatan yang luar biasa dalam bagi rakyat Yogya di masa itu terhadap rajanya.
Sungguh sebuah dinamika kehidupan yang hingga saat ini menyisakan sebuah tanya bagi saya, kekuatan apa yang menggerakkan karisma seorang raja pada waktu itu? dan aura apa yang mampu menundukkan kepala rakyat hingga rela menyamaratakan diri dengan tanah untuk alasan sebuah pengabdian kepada rajanya?
>> Bergerak menuju tengah kota di waktu malam menyentak hati saya. Betapa waktu tidak lagi memiliki wibawanya di tempat ini. Tua muda memenuhi jalan hingga lewat tengah malam seolah tak peduli dengan adanya batas waktu malam, siang, sore, pagi, petang, dan lain sebagainya. Banyak hal saya rekam dalam ingatan saya, ketika melalui Malioboro dengan aktivitas perekonomiannya, warung-warung burjo di sepanjang jalan yang menemani 'sindrom rasa lapar tengah malam' saya, dan kerlap kerlip bintang di kejauhan seolah turut menunduk menyaksikan kesibukan yang seakan tak pernah terhenti di kota ini. Malam itu, melaju dengan ringan di tengah terpaan sinar lampu sepanjang jalan, membawa alam bawah sadar saya untuk kembali berujar, inilah tempat saya..tempat dimana seringkali saya menujunya untuk pulang..
Di tengah lalu lalang roda mesin yang berputar itu, ada kesadaran bahwa kini disinilah hidupku..disinilah duniaku, dan dilingkungan inilah aku menyebutnya, tempatku..tak ada lagi tersisa sebuah penyesalan mengapa aku harus memilih tempat ini dahulu.
>> Hampir genap 24 bulan keberadaan saya di kota seribu budaya ini, berusaha bertahan di tengah idealisme yang berkembang cepat..dan kejam. Ketika angin malam yang dingin turun dari puncak Merapi dan menerpa dataran rendah di sepanjang Kaliurang, sebuah kesibukan atau rutinitas menjejali pikiran dan menjajah kebebasan saya. Kehausan akan hal-hal baru, pengalaman dan keingintahuan yang membuncah,mengantar saya untuk menjelajah kota yang ramah ini. Seakan terdengar di telinga saya, iringan gamelan dan nada sendu seorang sinden melantunkan tembang Jawa kuno hingga campursari nyleneh sepanjang hari di kota ini. Angin malam tak henti menerpa, dan kekaguman akan pesona kota kian memikat hati saya. Hingga sebuah trotoar kusam, hitam dan putih kotor yang tertangkap mata saya menjadi sebuah kenangan tersendiri untuk kembali saya putar kelak di tengah buaian dejavu.
>> Keraton, lambang kedigdayaan dan kemasyuran kala itu menarik saya untuk kembali berangan-angan dan membayangkan apa yang terjadi 1000 tahun silam di tempat saya berdiri ini. Senang rasanya, di tengah bangunan-bangunan tua yang masih tegak berdiri, terungkap sebuah kesadaran akan fakta adanya dinamika kehidupan di tempat ini waktu itu. Kembali saya memejamkan mata, mengasingkan raga ini sejenak dari hingar bingar kota untuk kembali bermajinasi pada sebuah kehidupan masa lampau yang masih erat dengan perebutan kekuasaan raja, pemujaan dalam arti sebenarnya kepada raja, dan pendewaan kepada raja.
Dalam angan saya, teringat sebuah kisah yang pernah saya dengar mengenai aturan protokoler yang mesti dilakukan rakyat jika ingin bertemu dengan rajanya untuk mengadukan persoalan yang tengah dihadapi. Karena ingatan itu, muncul sebuah bayangan seorang pria berbaju putih-putih di tengah hamparan tanah kosong tepat di depan bangunan keraton, lurus dengan muka keraton hingga dengan mudahnya Sang Raja dapat memandang ke arah pria tersebut. Terbayang betapa pengorbanannya untuk tetap berada di tempat itu menunggu sang Raja berkenan untuk memanggil dan menanyakan keluh kesahnya. Pemujaan dan rasa hormat yang begitu besar membawa ketaatan yang luar biasa dalam bagi rakyat Yogya di masa itu terhadap rajanya.
Sungguh sebuah dinamika kehidupan yang hingga saat ini menyisakan sebuah tanya bagi saya, kekuatan apa yang menggerakkan karisma seorang raja pada waktu itu? dan aura apa yang mampu menundukkan kepala rakyat hingga rela menyamaratakan diri dengan tanah untuk alasan sebuah pengabdian kepada rajanya?
>> Bergerak menuju tengah kota di waktu malam menyentak hati saya. Betapa waktu tidak lagi memiliki wibawanya di tempat ini. Tua muda memenuhi jalan hingga lewat tengah malam seolah tak peduli dengan adanya batas waktu malam, siang, sore, pagi, petang, dan lain sebagainya. Banyak hal saya rekam dalam ingatan saya, ketika melalui Malioboro dengan aktivitas perekonomiannya, warung-warung burjo di sepanjang jalan yang menemani 'sindrom rasa lapar tengah malam' saya, dan kerlap kerlip bintang di kejauhan seolah turut menunduk menyaksikan kesibukan yang seakan tak pernah terhenti di kota ini. Malam itu, melaju dengan ringan di tengah terpaan sinar lampu sepanjang jalan, membawa alam bawah sadar saya untuk kembali berujar, inilah tempat saya..tempat dimana seringkali saya menujunya untuk pulang..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar