30/06/09

Pernah Muda

Jogjakarta ibarat magnet, itu kata mereka yang setidaknya pernah merasakan hidup di kota ini. Sebagian besar dari mereka yang saya temui mengatakan tidak ada salahnya mencoba hidup di kota asing demi sebuah cita dan angan yang sayang untuk dilalui. Sebaris kalimat itulah yang hampir dua tahun lalu selalu didengungkan banyak orang disekitar saya. Ungkapan itu motivasi dan semangat bagi saya di tengah rasa bimbang yang luar biasa saya rasakan ketika itu.

Sedikit menoleh ke masa itu, ketika ijazah SMA telah ditangan dan surat-surat panggilan universitas kian hari semakin membuat saya menyadari bahwa inilah saatnya gerbang ke dunia luar itu terbuka. Hingga suatu hari kebimbangan begitu menyesakkan hati saya, ingin hati melanjukan jenjang pendidikan dalam bidang sastra dan merencanakan Kota lumpia sebagai tujuan saya. Bukanlah tanpa alasan mengapa saya berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan di bidang sastra, perasaan saya waktu itu (jujur) hanya ingin menghindari matematika, pelajaran yang sangat tidak saya sukai dan seringkali membuat saya putus asa ketika masa sekolah dulu dan saya kira dalam sastra tidak akan ada hitung menghitung. Entah mengapa saya begitu dalam menarik diri dari bidang matematika dan hitung menghitung. Namun kemudian pemahaman saya lebih terbuka mengenai cita-cita, tidak hanya ingin menghindar dari serbuan angka, sayapun ingin menjadi penulis dan bekerja sebagai pengajar di sebuah universitas. Memang sebuah hal yang sangat sederhana untuk ukuran sebuah cita-cita, dan mungkin agak sedikit memaksa untuk dapat disambungkan dengan bidang sastra yang ingin saya geluti. Itu pemikiran saya waktu itu, polos dan mungkin terlalu lugu untuk sebuah pemahaman akan masa depan. Hingga akhirnya keinginan saya terwujud dan datanglah surat panggilan dari universitas terkemuka di Ibukota Jawa Tengah tersebut. Sebuah surat panggilan dari Fakultas sastra yang pada awalnya saya pikir akan menjadi pilihan terakhir saya. Namun entah mengapa keinginan yang begitu kuat kala itu sedikit demi sedikit sirna dan berganti dengan keinginan lain untuk coba menjajaki bidang lain. Mungkin itulah jiwa muda, selalu penuh dengan rasa ingin tahu mengenai ‘ada hal lainkah di balik jalan berkelok itu?’. Keinginan untuk mencoba mandiri di lingkungan baru yang asing juga seolah memenuhi kepala saya, seakan sebuah suara menantang saya untuk mencoba menguji keberuntungan di Kota Jogja. Beberapa waktu saya mencoba berpikir, dan akhirnya ajakan seorang teman untuk mengirim lamaran ke sebuah universitas di Jogja mengantar saya menjadi pendatang baru di daerah kekuasaan seorang Sultan ini.

Akhirnya, kembali terngiang dalam ingatan saya ketika banyak orang kala itu mengatakan bahwa, “cobalah hidup di tempat asing yang terpisah dengan keluarga, rasakan dan nikmati ketika rutinitas baru kamu alami, dan coba terka..betapa menarik ketika tanpa kamu sadari sebuah gerbang untuk menuju aktualisasi diri telah kamu raih kunci pembukanya, dan jalani waktumu dengan bahagia ..hingga tanpa ragu gerbang tersebut seolah akan terbuka dengan sendirinya tanpa kamu harus membukanya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar