Tak ada hal di dunia ini yang lebih kubanggakan daripada kemampuan untuk merasa, untuk bertahan hidup dan, ya, untuk memegang teguh apa yang kucintai dan kuyakini (Jodie Foster) Dan bagiku, mimpi adalah bagian dari itu semua, bagian dari apa yang kurasa, kupertahankan, dan kuyakini untuk mengantarku mengubah kemustahilan menjadi kemungkinan, keputusasaan menjadi tantangan, dan yang pasti untuk mengubah mimpi menjadi keajaiban..
23/06/09
Flashback
photo by www.beritabaru.com
_22062009_
Beberapa waktu lagi, masyarakat Indonesia kembali diajak untuk menyaksikan debat calon wakil presiden di televisi. Semoga debat yang sesunggunya, mungkin itulah harapan mayoritas masyarakat Indonesia malam ini. Harapan bukanlah tanpa alasan, dilatarbelakangi oleh kekecewaan ketika menyaksikan ‘debat’ putaran pertama calon presiden minggu lalu menjadikan masyarakat menggantungkan harapan pada para calon wakil presiden yang akan menjadi tokoh utama dalam debat kali ini. Pasca debat calon presiden putaran pertama kemarin, masyarakat seolah disudutkan dalam pandangan yang jauh lebih sempit dari perspektif yang semula terbangun melalui argumen-argumen yang mengalir deras melalui media dan pidato-pidato politik. Sebagai pribadi yang selalu optimis, sayapun menaruh harapan besar pada malam dimana debat putaran pertama calon presiden dilangsungkan. Bayangan yang tergambar adalah, ketiga calon presiden saling berargumen dan mempertahankan pendapatnya masing-masing dengan cara yang tentunya anggun serta luwes. Dengan gaya bicara, sikap tubuh dan mimik muka masing-masing saya prediksi akan menjadi sangat bervariasi, mungkin akan banyak nada tinggi, mimik muka ‘tidak setuju’, maupun sikap tubuh yang menunjukkan keanggunan atau kewibawaan masing-masing. Apa mau dikata, malam dimana dilangsungkan debat putaran pertama calon presiden yang lalu saya rasakan begitu monoton, wagu, dan mungkin hanya berlangsung dalam area aman tanpa upaya untuk menghidupkan diskusi malam itu. Jika beberapa hari belakangan saya saksikan analisis para tokoh-tokoh politik mengenai ‘debat’ malam itu, banyak ungkapan kekecewaan bahkan prihatin mengenai fenomena yang muncul. Ditengah kritik pedas yang terlontar dari masing-masing calon maupun tim suksesnya, mengapa justru hanya tontonan ‘seperti itu’ yang terjadi akhirnya. Padahal jika mungkin, ‘debat’ yang lalu seharusnya menjadi klimaks dari semua tuduhan yang selama ini saling dilempar, entah ‘poco-poco’, ‘yoyo’, ekonomi neo liberalisme, lamban, dan sebagainya. Bahkan ada pendapat yang justru menyalahkan sang moderator sebagai pihak yang paling bersalah dalam berlangsungnya acara tersebut karena dianggap terlalu manut dan mengikuti arus yang telah terbentuk. Namun kemudian justru di luar area debat sang presiden, suasana yang lebih seru terjadi di tengah berkumpulnya para petinggi-petinggi tim sukses masing-masing. Entah ada aturan main apa yang sedang menggawangi acara malam itu, aturan main yang mungkin mampu menjaga wibawa sang calon presiden namun sangat tidak mencukupi rasa keingintahuan masyarakat.
Respon beragam langsung muncul di tengah masyarakat. Ketika usai ‘debat’, saya berselancar di dunia maya melalui facebook , banyak sekali status di profile masing-masing ‘mengutuk’ acara yang baru berlangsung. Banyak ungkapan kekecewaan terlontar, “debat dari hongkong?”, atau “bukan debat itu, diskusi lebih tepatnya”, ada lagi yang lebih kritis mengatakan “Capres kita memang warga negara Indonesia sebenarnya, yang terkenal dengan ewuh pakewuh, halus tutur katanya, dan penuh basa-basi”. Membaca semua argumen tersebut membuat saya tersenyum dan sedikit menelan ludah. Betapa masyarakat sangat antusias dan menaruh perhatian besar pada panggung politik yang tengah digelar. Inilah demokrasi, di tengah kekalutan politik, masyarakat masih bebas dan nyaman berargumen, bersuara dan mengeluarkan pikiran dalam bentuk apapun. Jika masyarakat bawah telah menyadari makna demokrasi tersebut, mengapa justru beliau-beliau terhormat sebagai calon pemimpin di negara demokrasi ini terkubur dalam budaya klasik yang jauh dari cita-cita demokrasi pada awalnya. Mungkin sebuah pesan berikut yang hanya akan didengar dan disaksikan oleh saya dan segelintir pembaca blog ini menjadi perwujudan rasa kalut kami, masyarakat Indonesia. “Marilah berbicara, ungkapkan yang sebenarnya, dan saksikan betapa kami masyarakat menaruh semangat dan kepedulian yang begitu besar untuk proses demokrasi ini...”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar