05/12/10

Mengapa saya Bernama ?



Apalah arti sebuah nama ? begitulah ucap Shakespeare dalam roman Romeo dan Juliet yang lekat di telinga kita. Bahkan saking melegendanya, ungkapan tersebut terasa ringan diucapkan ketika awal perkenalan, atau saat ketika seseorang enggan menyebutkan namanya pada orang yang baru dikenal. Dan (faktanya), tak banyak orang yang tahu kisah di balik ungkapan legendaris shakespeare tersebut –termasuk saya-. Walaupun sangat sederhana, ungkapan tersebut nyatanya memang bermakna luas, bermula dari kisah cinta dua ikon pasangan kekasih, Romeo dan Juliet yang memang terbebani oleh nama belakang mereka. Dengan setting di jaman kuno, bukan tidak mungkin kalau nama keluarga yang disandang seolah memang membawa pesan tertentu kala itu. Apalagi bagi Romeo dan Juliet yang dalam kisahnya memang berasal dari dua nama keluarga yang saling bermusuhan (yang artinya, cinta mereka dianggap tabu). Tidak perlu saya bahas lebih jauh, yang jelas pada akhirnya sahakespeare memilih ungkapan ‘apalah arti sebuah nama’ untuk menunjukkan bahwa cinta bisa terjadi pada siapapun, dari keluarga manapun, dan dengan nama apapun seperti romantika Romeo dan Juliette yang (sayangnya) berakhir tragis. Dengan setting tersebut saya setuju, bahwa ungkapan ‘apalah arti sebuah nama’ memang perlu untuk menunjukkan kesamaan atau kebebasan menyalurkan cinta pada siapapun tanpa diributkan persoalan (konflik) keluarga.

Sampai disini, tulisan saya belum jelas akan bermuara kemana. Namun ibarat lukisan abstrak, garis-garis nan berwarna warni yang tampak tak beraturan pun pada akhirnya menyimpan makna. Sebagai dalih seorang penulis amatir, sayapun menyertakan ilustrasi di atas untuk sekedar memberi nafas dalam jeda antara judul dengan inti yang ingin saya sampaikan. Ya, meskipun berbeda kisah dengan tokoh-tokoh ternama di atas, tulisan kali ini tak jauh beranjak dari persoalan tentang nama. Sebuah pikiran melintas, jika ini tulisan seorang idealis lurus mungkin akan terbit dengan judul ‘Menggugat Pemaknaan Nama’, atau mungkin jika terlahir dari seorang pujangga akan muncul dengan pembuka “...namapun kian meretas makna, di tengah gaduh dunia yang fana..sebaris nama menguak perangai dalam ego pemiliknya ..”. Tak bisa disepelekan, dari insting penyusun kata-kata (baca : penulis) dengan latar yang berbeda, satu bahan bisa menjadi santapan lezat nan menggairahkan dengan caranya masing-masing. Sedangkan saya, keduanya bukan menjadi pilihan atau kecenderungan dalam diri saya. Selalu memikirkan segala yang mudah menjadi rumit, dan seringkali mengais makna dari semua hal yang entah sebenarnya bermakna atau tidak, itulah saya. Jadi, tak sulit saya memberi judul, cukup dengan menanyakan entah pada siapa : Mengapa Saya Bernama?

Sederhana, tulisan saya hanya ingin menunjukkan beruntungnya saya. Menurut kisah yang acapkali saya dengar, nama ini pemberian dari beberapa kerabat yang akhirnya dirangkai untuk memberi nama seorang bayi perempuan (cantik) yang terlahir di ujung tahun 80an lalu. Kata orang, nama saya terdengar (a)njawani alias berbau ke Jawa-an, tidak heran keluarga besar saya memang aseli Jawa (Tengah) tulen dengan sangat sedikit sekali campuran darah dari pulau seberang. Nama itu, Artati Ajeng Nariswari. Untuk orang modern yang menyukai nama kebarat-baratan mungkin kurang nyambung dengan nama ini karena terlalu Jawa, meskipun kalau dilihat maknanya saya rasa tidak ada yang tak suka (bolehlah saya sedikit berbangga).

Nama adalah do’a, dan saya berharap semua makna yang terukir dalam nama saya cepat atau lambat semoga memang benar-benar menggambarkan diri saya (insyaallah). Karena saya merasa, ada do’a yang tak henti dipanjatkan selama nama tersebut melekat dalam diri saya. Artati, banyak orang sering kepeleset menuliskannya dengan Hartati atau Artanti. Menurut sumber yang saya baca, makna nama Artati adalah ‘manis’. Dari artikel lain saya menemukan bahwa Artati berarti pula menunjuk pada pribadi yang dianugerahi bakat istimewa untuk meraba kehalusan, mencicipi kemanisan, merasakan keindahan, mendalami relung-relung budaya, serta menyelami rahasia manusia dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya (Suhatno, 1979/1980:4). Tak tanggung-tanggung, meresapi kalimat tersebut membuat saya agak ternganga, sebegitu dalamkah makna di dalam nama saya. Untuk nama tengah yang sekaligus menjadi nama panggilan saya adalah Ajeng yang maknanya cukup singkat namun begitu lekat dengan kekhasan seorang wanita, yaitu ‘cantik’. Menjadi pelengkap dari nama saya, ‘Nariswari’ dipilih sebagai penutupnya. Nariswari sendiri berarti yang paling unggul diantara para wanita. Seringkali ada yang menyamakan Nar(i)swari dengan Nar(e)swari, meskipun dilihat dari maknanya amat berbeda, yaitu bahwa Nar(e)swari artinya permaisuri.
Dalam tiga kata tersebut, ada banyak harapan yang disematkan. Dalam tiga makna tersebut, ada sebentuk cinta yang saya rasakan. Saya beruntung, mengingat tiap nama yang melekat amat sarat makna. Artati Ajeng Nariswari, mungkin begini maknanya : seorang yang unggul diantara para wanita dengan kepribadian yang cantik dan pembawaan yang halus, penikmat keindahan, budaya, dan nilai-nilai dalam diri manusia lainnya.
Tulisan saya ini hanya sebentuk penghargaan dan rasa terima kasih saya untuk orang tua dan kerabat yang telah turut andil dalam penamaan saya waktu itu. Atau bolehlah jika saya maksudkan tulisan ini sebagai pengingat bagi diri saya pribadi, bahwa ada harapan dari mereka kepada saya untuk benar-benar mewujudkan kebaikan yang sudah terukir di dalam nama saya. Satu catatan lagi, bahwa saya tidak mengada-ada, semua pemaknaan nama di atas saya ambil dari beberapa sumber berikut untuk nama Artati, disini untuk makna Ajeng, dan makna Nariswari pada link ini. Jadi, mengapa saya bernama ? jelas, karena ada harapan dan do'a yang ingin mereka sematkan dalam diri saya. Mulai sekarang, cari makna nama anda dan biarkan sebanyak mungkin orang tahu. Bukan demi pujian, namun agar keindahan dibalik nama kita bisa pula menjadi pilihan do'a atau harapan untuk ribuan calon bayi lainnya.

17/11/10

do what we can, before it's too late

when I hear the song of nature
there is no slightest doubt about the greatness of God
when I saw the hands of the destructive nature
I still feel the tenderness of God's hands

He did not give punishment for our mistakes
he just gives a warning

when we will realize
if not start from now

God only knows how long nature can survive
until that time .. why do not we try our best to nature?

and, why should we?
because we have taken a lot of natural
because there is no other than us who get a blessing of nature

Wasior, Mentawai, and Merapi ..
only a small part of God's power ..

start from ourselves, from now ..
think is best for nature ..
and do it!

(Just an expression of sadness by the many disasters that happen .... sorry, a bit chaotic in English)

30/04/10

Ajang Cari Jodoh; Menyoal Sisi Manusiawi, Kodrat, dan Adab

Kini, siapa tak tahu acara bertajuk “Ambil saya/dia/selebritis keluar” yang tayang di salah satu stasiun swasta terkemuka Indonesia. Meski kemunculan awalnya seolah memberi gebrakan dalam soal yang masih dianggap privasi oleh adat timur kita, toh akhirnya acara ini langgeng bahkan dimodifikasi sedemikian rupa hingga menjadi ajang bagi banyak kalangan termasuk selebritis Indonesia. Bagi aliran feminism, kemunculan program ini yang memposisikan wanita sebagai yang dipilih/yang ditunjuk mungkin sedikit mengusik persoalan hak wanita di dalam urusan hati sekalipun, hingga kemudian tayang program serupa dengan gaya berbeda yang membalikkan keadaan dan menempatkan wanita sebagai yang berhak sepenuhnya memilih satu dari banyak pria atau peserta. Kondisi menjadi ‘satu sama’, alias adil dan proporsi seimbang bagi pria atau wanita untuk memiliki hak sepenuhnya dalam memilih pasangan. Persoalan selesai, kemunculan kedua acara dengan sasaran yang berbeda tersebut mempersempit celah atau arus kontroversi dari kedua pendukung aliran feminism atau maskulinitas yang tengah eksis membela kaum masing-masing.

Di tengah kedua jenis kelamin tersebut muncul satu kelompok masyarakat yang digolongkan dalam selebritis atau orang-orang terkemuka yang pernah atau menjajaki dunia tampil di layar kaca. Juga tidak dapat dipersalahkan jika kemudian munculnya program modivikasi yang memposisikan selebritis sebagai peserta menarik banyak perhatian public, atau lebih tepatnya menarik rasa penasaran masyarakat akan orang-orang yang sudah tidak asing lagi wajahnya dalam mensikapi masalah hati. Persoalan popularitas, sensasi dan eksistensi menjadi dugaan-dugaan yang berkembang di kalangan pemirsa acara ini. Tidak bermaksud mendiskreditkan artis dengan dugaan-dugaan yang mengarah pada unsure negative, namun hal tersebut memang menjadi satu konsekuensi yang mau tak mau telah melekat di dalam menjalankan peran sebagai artis atau selebritis yang dikenal masyarakat. Tiap apa yang dilakukan selalu disandingkan dengan upaya meraih popularitas, meskipun tak jarang popularitas justru semakin tenggelam dengan upaya-upaya yang berlebihan.

Kata tak biasa mungkin terdengar aneh jika masalah hati yang sedang kita bicarakan. Sebab hati, cinta dan sejenis itu memang misteri dan satu masalah kompleks yang tak mudah diurai dengan logika. Dan khusus dalam perbincangan ini, saya letakkan cinta (baca : pasangan) adalah kebutuhan manusiawi. Tak peduli pejabat, selebritis, kaya, miskin, anak muda, orang tua, bahkan paranormal dan ‘dukun modern’ yang selama ini seolah jauh dari pembahasan masalah hati dan perasaan manusiwainya, turut serta pula dalam ajang tersebut yang serta merta menyadarkan public bahwa masalah cinta lawan jenis adalah milik semua. Masih jelas dalam ingatan saya ketika di satu episode tampak salah seorang paranormal tenar di Indonesia yang bukan saja bergaya dengan pakaian full colournya, namun juga berperangai lain dari yang biasa kita saksikan dengan pembawaan serius nan misterius. Bahkan, alih-alih berpose seram atau penuh wibawa, sang paranormal justru bergaya layaknya playboy ‘genit’ memperebutkan hati seorang wanita cantik yang dihadirkan sebagai peserta. Jadi, sampai disini makin jelas dan lugas, bahwa masalah hati bukan hanya milik segelintir orang ‘normal’, karena yang biasanya terkesan tak tertarik dengan dunia normalpun bersikap sama jika harus berurusan dengan hati (baca : cinta dan lawan jenis). Hanya satu kata yang bisa menjelaskan semua itu, bahwa persoalan ini adalah manusiawi. Wajar dimliki semua orang yang berorientasi pada lawan jenis untuk menjadi pasangan atau belahan hatinya.

Memperjelas fenomena ini dari sisi manusiawi tadi, jelas tidak dapat dilewatkan bahwa adanya acara ini merupakan pengakuan dunia terhadap kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang tak bisa hidup seorang diri. Ajang ini secara halus membantu menyatukan pria dan wanita single untuk menjadi pasangan, lepas dari adanya anggapan bahwa pasangan-pasangan yang tersatukan hanya scenario. Kodrat bahwa pria tertarik dengan wanita dan sebaliknya, coba diangkat dalam ajang ini dengan cara yang lebih dramatis. Ketika sebelumnya persoalan memilih pasangan adalah area pribadi yang tak terpublikasikan secara luas, disini justru sisi itulah yang menjadi hidangan pokok sebagai tontonan masyarakat dimanapun keberadaannya. Si A mendapat pasangan si B dengan saingan si C dan proses tawar menawar, tarik menarik serta timbang menimbang dalam proses menyatukan pasangan pada acara ini menunjukkan betapa sisi manusiawi kini menjadi komersialisasi untuk bisnis pertelevisian yang cukup menjanjikan. Taruhlah acara reality show yang mengandalkan kepekaan seseorang untuk menolong sesamanya, kemudian acara yang berusaha mengurai benang kusut pada pasangan nikah yang berada di sisi jurang perceraian, atau bahkan acara yang memicu kekesalan hingga lepas dari batas kesabarannya dalam menghadapi masalah-masalah yang telah direkayasa, semua itu sontak membuka mata kita bahwa kini persoalan pribadi yang erat dengan sisi manusiawi seseorang dengan mudahnya menjadi konsumsi umum dan rentan dengan rekayasa yang melicinkan bisnis hiburan di Indonesia.

Tidak menjadi soal selama pihak-pihak bersangkutan memberi persetujuan atas apa yang diangkat dan tampil di layar kaca, apalagi jika sisi komersial terbayarkan dengan animo masyarakat yang tinggi untuk mengikuti acara-acara tersebut. Namun perlu pula dilihat secara objektif, sampaikah pesan baik yang ingin disampaikan dalam semua ajang atau reality show tersebut. Atau jangan-jangan hanya budaya praktis nan imajinatif yang diserap masyarakat serta menjadi acuan dalam realita kehidupan sehari-hari.

Kembali pada acara bertajuk “Ambil aku keluar” yang diperbincangkan sejak awal, memperoleh pasangan adalah kebutuhan manusiawi yang tak terelakkan menimpa semua orang dengan beragam latar belakang. Adapun penjelasan dalan agamapun membolehkan dan justru memastikan bahwa setiap orang telah digariskan siapa jodohnya masing-masing dengan caranya sendiri. Sehingga acara ini kiranya menjadi jembatan bagi siapapun untuk menunaikan perintah agamanya dengan menjadi pasangan bagi yang lainnya. Semua maksud baik tersebut diharapkan tidak hanya sebagai pembenar atas tontonan yang diperlihatkan. Meskipun pernah suatu ketika acara ini melibatkan pengemuka agama untuk menjadi penasehat atau komentator, namun tak semua yang tampak patut menjadi panutan. Kata-kata penolakan (baca : penghinaan) yang rentan berunsur SARA, perlakuan vulgar yang terkadang risih untuk disaksikan, serta proses ‘menjual diri’ yang semakin berani dari peserta-peserta yang turut dalam ajang tersebut, kiranya harus menjadi perhatian dari pihak penyelenggara maupun masyarakat sendiri agar dapat bijak menyikapi tontonan yang ada. Disini jelas bahwa adab dan norma tetap perlu disatukan dalam dunia hiburan yang menjadi konsumsi bersama. Jangan lekas meniru gaya dari luar hanya karena semata-mata program yang diselenggarakan adalah hasil adaptasi dari program luar negeri yang notabene berbeda budaya. Sehingga nantinya akan terwujud cita-cita idealis, agamais, dan normative, bahwa tontotan yang ditampilkan mampu memberi kelegaan bagi banyak pihak yang selama ini menaruh perhatian atau kekhawatiran terhadap acara-acara serupa di televisi.

Mengapa beberapa perusahaan menolak proposal sponsorship kami ?

Sebagai kacamata awal membaca tulisan ini, ada baiknya diketahui terlebih dahulu apa isi proposal dan dalam rangka apa proposal tersebut dilayangkan ke beberapa perusahaan besar yang menurut kami cukup mumpuni untuk menjadi penyandang dana bagi proyek kami.

Sebut saja proyek kami ini dengan KKN, proyek wajib mahasiswa yang masih menjadi trend dikalangan banyak perguruan tinggi di Indonesia. KKN kami yang sangat intens menyoroti masalah lingkungan mengerucut pada focus perbaikan lingkungan. Artinya daerah pilihan kami sebagai lokus proyek KKN adalah daerah yang memiliki masalah dalam persoalan sanitasi lingkungan. Meskipun kami yakin daerah dengan kriteria tersebut cukup mudah ditemui di sekeliling kami, namun kami memilih jalan praktis dengan mengkesampingkan hal tersebut dan bergerak dengan kacamata kuda. Langkah tersebut terpaksa kami ambil karena keterbatasan (financial pastinya) dan juga waktu serta kompetensi kami sebagai seorang yang (masih/hanya) bergelar mahasiswa. Akhirnya dengan kacamata kuda kami, dipilihlah satu daerah sebagai tujuan proyek KKN. Di daerah tersebut masalah pokok yang dihadapi sebenarnya ‘standar’, yaitu masalah kurangnya kesadaran public lokal dalam mengelola lingkungannya sendiri. Mengapa saya katakan demikian ? sebab tidak relevan kiranya jika saya katakan bahwa masalah pokoknya adalah karena persoalan finansial, sebab sebagai tambahan informasi bahwa daerah tersebut merupakan penerima dana bantuan pembangunan dari pemerintah provinsi yang besarnya cukup signifikan dan hampir menghabiskan kesepuluh jari kita untuk menghitung jumlah nol di belakang angka yang tertera. Ya, persoalan dana sepertinya bukan menjadi masalah, namun karena sebagai ‘tamu’ yang sekiranya datang ke daerah tersebut untuk mencoba menawarkan solusi atas masalah yang ada, maka kami mempertimbangkan untuk turut ‘urunan’ alias menambah pemasukan bagi operasionalisasi proyek kami. Sehingga nantinya persoalan keuangan dapat dipikul bersama antara desa dan tim KKN kami. Jadi, kedudukan menjadi sama rata, tidak hanya menjadi beban desa tetapi kami juga berupaya untuk turun ke lapangan mengais dana demi kelancaran proyek idealis tim KKN kami.

Sampai disini masalah belum selesai, justru akan menjadi awal dari pergolakan lahir batin kami sebagai sub divisi tim bagian pencari dana. Langkah awal kami menyusun proposal dengan bahasa dan tampilan yang se’cute’ mungkin untuk menarik perhatian sang calon penyandang dana telah usai pada minggu kedua. Kemudian langkah kedua, kami menjajaki daerah-daerah baru yang notabene sebagai lokasi dari perusahaan-perusahaan terkemuka yang menjadi sasaran penyandang dana tim KKN kami. Setelah melalui survey panjang, terkirimlah semua proposal ke alamat masing-masing.
Waktu yang dijanjikan untuk follow up terhadap pengajuan proposal kami terlewati satu, dua hari. Sampai akhirnya inisiatif kami menjadi jalan terbukalah fakta yang selama ini kamai nanti. Satu, dua perusahaan memberi penolakan. Alasan pertama yang sangat tidak masuk akal adalah perusahaan telah menutup jalan bagi sponsorship dengan bentuk kegiatan apapun, alasan kedua, alokasi dana untuk tiga bulan kedepan sudah habis (yang bertepatan dengan rencana KKN kami), dan setelah kami tanya kapan akan dibuka kembali peluang sponsorship ternyata belum ada kepastian (lalu mengapa kepastian menutup penawaran internship begitu pasti ?). Dan selanjutnya ada satu perusahaan besar yang kami kira sangat menjanjikan, bahwa ia akan memberi bantuan karena program lingkungan sangat erat dan klop dengan program CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan mereka. Namun tanpa dinyana, jawaban sungguh mengecewakan. Alasan penolakan seperti ini, bahwa program KKN kami sangat mirip dengan program mereka sehingga alokasi dana CSR mereka sudah dipakai dalam kegiatan mereka sendiri, selanjutnya alasan kedua adalah bahwa kegiatan KKN kami diluar waktu pengalokasian/pengeluaran dana untuk program studi (alias program KKN), dan selanjutnya alasan yang sengaja ditambahi untuk semakin membuat kami mundur adalah bahwa lokasi KKN kami diluar jangkauan lokasi proyek CSR mereka. Lengkap sudah, dengan berbagai argumentasi yang saya kira bisa mematahkan argumentasi mereka, namun pada kenyataannya mereka tetap menolak, “over all, kami belum dapat mengalokasikan dana untuk KKN anda, karena kegiatan dalam KKN anda.. bla bla bla..”. Cukup sudah, akhirnya persoalan selesai dengan kerugian di pihak kami karena sudah mengeluarkan dana untuk pembuatan proposal sponsorship yang akhirnya tidak memberi hasil apapun.

Di tengah kekecewaan akhirnya kami sadar, mungkin saja ada motif lain mengapa mereka menolak bekerja bersama tim KKN kami. Ada banyak jalan dan alasan yang kira-kira bisa menjelaskan mengapa mereka menolak tawaran kerjasama ini, antara lain yang paling mengena adalah penolakan dari sebuah perusahaan penghasil teknologi mutakhir bagi peradaban manusia untuk mempermudah aksesibilitas. Perusahaan mereka akan terus bekerja karena produk mereka terjual, sedangkan dari sisi lingkungan jumlah produk yang terjual akan berbanding lurus dengan tingkat polusi di bumi ini. Artinya, persoalan lingkungan sebenarnya juga menjadi tanggung jawab mereka sebagai perusahaan penghasil alat-alat atau teknologi canggih tersebut. Alhasil, misi lingkungan yang kami angkat seolah ironis sekali dengan apa yang selama ini mereka jalankan. Dan lagi-lagi hanya dugaan, bahwa penolakan ini mungkin dilandasi oleh perasaan malu dan seolah menjilat ludah sendiri bagi perusahaan yang sebenarnya merasa bertanggungjawab juga dengan kerusakan lingkungan kita.

Kegagalan akan seterusnya menjadi pengalaman buruk jika kita tidak pandai mengolah kekecewaan dibaliknya menjadi sebuah hikmah yang tersembunyi. Minimal pengalaman penolakan yang lalu menjadi pelajaran yang akan saya bagi disini, bahwa pengajuan proposal sponsorship setidaknya perlu memperhatikan hal-hal berikut :

Pertama, Pilih perusahaan/instansi yang memiiki kesamaan persepsi atau orientasi dengan proyek/acara kita (dapat dilihat dari program perusahaan/instansi, logo, jargon, kegiatan-kegiatan non profit yang dilaksanakan, dsb)

Kedua, Pastikan produk perusahaan/instansi tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan proyek kita

Ketiga, Jika sasaran sponsor adalah untuk menambah dana cash, maka upayakan jangan memilih perusahaan/instansi yang menghasilkan produk jadi yang dijual, dan pilih perusahaan/instansi netral yang bergerak dalam bidang perbankan, pertambangan, dsb

Empat, Jika perusahaan/instansi yang kita pilih adalah perusahaan penghasil barang-barang tertentu, pastikan barang tersebut dapat dimanfaatkan untuk menunjang proyek kita (misalnya perusahaan alat-alat tulis dapat dimanfaatkan untuk menunjang program pendidikan tambahan di desa, dsb), hal tersebut mengantisipasi jika perusahaan tidak memberi bantuan dalam bentuk uang cash namun berupa produk jadi

Lima, Pilih perusahaan yang telah terbukti ‘kebaikannya’ dalam program-program sponsorship

Enam, Jika saat awal pengajuan telah muncul tanda-tanda penolakan, jangan memaksa untuk meninggal proposal kita, karena toh kemungkinan besar tetap saja akan ditolak dan kita rugi satu berkas sponsor yang terlanjur diajukan. Lebih baik menerima dengan legowo dengan argument seperlunya, namun tetap realistis dan mengalihkan proposal untuk perusahaan/instansi lainnya

Tujuh, Jarang ada instansi public atau pemerintah yang memberi bantuan uang/dana cash, jadi pastikan khusus untuk instansi semacam ini adalah bantuan dalam bentuk tenaga sosialisasi, dan barang-barang tertentu saja (misalnya buku-buku bacaan dari dinas kearsipan/perpustakaan daerah, dsb)

Delapan, Usahakan mengajukan proposal langsung di kantor pusat yang terdekat dengan lokasi kita, atau kalau tidak memungkinkan di kantor-kantor perwakilan yang berada di kota besar di sekitar kita

Sembilan, Untuk lokasi perusahaan, pilih yang mendekati lokasi proyek kita

Sepuluh, Dan yang terpenting, tetap bersabar menunggu pemberitahuan persetujuan atau penolakan, serta tidak bosan menghubungi perusahaan/instansi terkait untuk meminta kejelasan

Semoga tips diatas dapat membantu, atau minimal membuka mata kita bahwa tak semua perusahaan/instansi serius dengan tawaran kerjasama sponsorship yang mereka tawarkan.

17/01/10

belum menjadi siapa-siapa

ketika tak ada gagasan untuk menulis lebih dari sekedar ungkapan rasa..hanya ini yang bisa coba saya sertakan...sebuah ungkapan keprihatinan dan mungkin kepedihan yang tanpa sadar seringkali terlupakan..akan sebuah realita yang menjadi semakin biasa di tengah benturan dan gelombang keputus asaan..duka di negeri ini tak ubahnya sebuah bintang yang sulit terjangkau untuk saya saat ini..hanya secuil kata-kata ini yang bisa saya berikan..selebihnya,saya belum bisa berbuat apapun..negeri ini harus bertahan, sampai waktunya nanti saya akan ikut berperan..

NB:
judul kedua setelah tulisan di bawah ini, hanya ungkapan kegetiran ketika hak asasi yang seharusnya saya miliki (berpendapat dan bersuara..) terancam hilang karena ketakutan akan sebuah hukuman..




Serpihan Negeriku (30122009)

Senja menutup hari ini dengan kalut
Tak ada suka cita mengiringi munculnya kabut
Entah berapa kali negeriku kembali mengkerut
Tak percaya semakin banyak tonggak yang bangkrut

Belum purna upaya negeri untuk bangkit

Ada lagi sahutan dilema yang membuat negeriku sakit
Belum tegak benar negeriku berdiri
Filosofi negerikupun semakin sering dikritisi

Belum tuntas suara kemiskinan ditangisi
Datang lagi derai tawa kematian tak ada nasi
Sesak, berat, dan tak mudah diatasi
Sementara negeri menangani, ada yang lain korupsi

Duka kami rakyat kecil yang tak lagi percaya janji
Jangan salahkan jika nanti kami tak lagi bisa menahan diri
Saatnya kekuatan rakyat tak lagi bisa dibasmi

Berhenti mengebiri hak-hak kami
Sementara kursi yang kau dudukipun sebenarnya milik kami
Berhenti bersikap seolah kami tlah mati
Tanpa sadar bahwa kami amat tersakiti

Bersikaplah wahai negeri
Sesungguhnya kami setia menanti
Untuk merengkuhku kembali dalam sayap pertiwi



Mbak Prita (30122009)

Tersentak kami menatap layar kaca
Seorang wanita bicara berurai air mata
Sekejap kami sadar akan realita
Ia hanyalah menulis keluhan semata

Surat elektronik yang katanya membawa petaka
Tapi buat kami inilah fakta
Ketika negeri tak lagi teguh dengan asas demokrasinya
Substansi runtuh hanya formalitas semata

Bertahanlah dalam gelap yang pasti berujung
Nikmati tiap cercaan dan jangan kau merasa terkurung
Sesungguhnya ada banyak yang mendukung
Menuntut keadilan hukum untuk kebebasan yang terselubung

mencoba 'mempuitisasi' rasa

untuk tulisan yang satu ini..
tidak banyak saya bisa berkomentar...sebuah rasa kadang memang tak bisa dijelaskan..


Sepertinya [Bukan] Cinta (31122009)

Terasa diluar tapi menyatu di dalam
Terasa lepas, namun erat menerkam
Terasa biasa tapi memimpikannya semalam
Terendap dalam, sampai hampir tenggelam

Hanya sekejap bersua
Hanya sepintas berkata
Dan hanya sedikit mengerti dia
Seperti ada yang berbeda

Cukuplah menatap dari kejauhan
Ketika bintangnya kian bersinar
Bersorak disamping seorang perawan
Yang entah mengapa buat hatiku berang

Aah..sudahlah bukan cinta yang aku maksud
Bukan jua kerinduan yang semakin menusuk
Mungkin hanya kagum dan ingin memeluk
Hanya ingin..tapi tak sanggup menunjuk

Biarlah ia berlari dengan bahagianya
Selebihnya disini menahan asa untuk bersama
Berbincang lagi suatu ketika
Dengan rasa yang semakin nyata

semacam puisi ?!

Sebagai seorang pelajar (baca : mahasiwa) yang sok merasa paling sibuk..saya seringkali mengalami waktu-waktu menjenuhkan dengan banyak tugas..tugas dan tugas..satu dua tugas saya anggap 'wajar'..tiga empat tugas saya bilang 'yaa sekali-kali memang begini'..lima enam tugas, agak jengkel dan menanggapi dengan sikap 'mau nggak mau harus mau'..lebih dari itu?? wajarlah kalo akhirnya saya merasa 'agak tertekan dan terkekang'..dan dengan tulisan semacam puisi ini saya ingin coba mengungkap apa yang saya rasakan..karena kadang suara seseorang seperti saya di luar sana hanya seperti setetes air di tengah samudera, dan mungkin hanya sampai sini saja..karena saya (diam-diam) memang hanya seorang penakut (pengecut ??)..!?

yyaaa! inilah saya dengan dunia saya yang sesungguhnya..


Mengadu waktu (31122009)

Kalau tak salah malam kesekian

Ketika tak kuat lagi menahan beban

Tak mempan lagi dengan hiburan

Apalagi hanya sekedar saran

Di muka ruangan tertunduk dalam

Menatap layar yang tak kunjung padam

Kata demi kata beradu dalam kelam

Menyisir buku halaman demi halaman

Mereka bilang ini wajar untuk kalian

Keterbatasan dahulupun tak menjadi penghalang

Sekarang dengan segenap kemudahan

Apakah kalian tak sanggup menahan??

Bukan itu yang kami cemaskan

Bukan pula kuantitas yang kami takutkan

Tapi buka nuranimu dalam malam

Ketika tak segan lagi selalu memberi beban

Apa yang engkau kejar

Beradu dengan gelar?

Atau membimbing kami dengan benar?

Kami bukan mesin yang hanya bekerja setelah digerakkan

Kami bukan patung yang hanya diam selalu kau permainkan

Dengarkan kami yang sedang berpeluh

Lihatlah wajah kami yang semakin keruh

Dan tolong jangan abaikan kami yang mengeluh