30/04/10

Ajang Cari Jodoh; Menyoal Sisi Manusiawi, Kodrat, dan Adab

Kini, siapa tak tahu acara bertajuk “Ambil saya/dia/selebritis keluar” yang tayang di salah satu stasiun swasta terkemuka Indonesia. Meski kemunculan awalnya seolah memberi gebrakan dalam soal yang masih dianggap privasi oleh adat timur kita, toh akhirnya acara ini langgeng bahkan dimodifikasi sedemikian rupa hingga menjadi ajang bagi banyak kalangan termasuk selebritis Indonesia. Bagi aliran feminism, kemunculan program ini yang memposisikan wanita sebagai yang dipilih/yang ditunjuk mungkin sedikit mengusik persoalan hak wanita di dalam urusan hati sekalipun, hingga kemudian tayang program serupa dengan gaya berbeda yang membalikkan keadaan dan menempatkan wanita sebagai yang berhak sepenuhnya memilih satu dari banyak pria atau peserta. Kondisi menjadi ‘satu sama’, alias adil dan proporsi seimbang bagi pria atau wanita untuk memiliki hak sepenuhnya dalam memilih pasangan. Persoalan selesai, kemunculan kedua acara dengan sasaran yang berbeda tersebut mempersempit celah atau arus kontroversi dari kedua pendukung aliran feminism atau maskulinitas yang tengah eksis membela kaum masing-masing.

Di tengah kedua jenis kelamin tersebut muncul satu kelompok masyarakat yang digolongkan dalam selebritis atau orang-orang terkemuka yang pernah atau menjajaki dunia tampil di layar kaca. Juga tidak dapat dipersalahkan jika kemudian munculnya program modivikasi yang memposisikan selebritis sebagai peserta menarik banyak perhatian public, atau lebih tepatnya menarik rasa penasaran masyarakat akan orang-orang yang sudah tidak asing lagi wajahnya dalam mensikapi masalah hati. Persoalan popularitas, sensasi dan eksistensi menjadi dugaan-dugaan yang berkembang di kalangan pemirsa acara ini. Tidak bermaksud mendiskreditkan artis dengan dugaan-dugaan yang mengarah pada unsure negative, namun hal tersebut memang menjadi satu konsekuensi yang mau tak mau telah melekat di dalam menjalankan peran sebagai artis atau selebritis yang dikenal masyarakat. Tiap apa yang dilakukan selalu disandingkan dengan upaya meraih popularitas, meskipun tak jarang popularitas justru semakin tenggelam dengan upaya-upaya yang berlebihan.

Kata tak biasa mungkin terdengar aneh jika masalah hati yang sedang kita bicarakan. Sebab hati, cinta dan sejenis itu memang misteri dan satu masalah kompleks yang tak mudah diurai dengan logika. Dan khusus dalam perbincangan ini, saya letakkan cinta (baca : pasangan) adalah kebutuhan manusiawi. Tak peduli pejabat, selebritis, kaya, miskin, anak muda, orang tua, bahkan paranormal dan ‘dukun modern’ yang selama ini seolah jauh dari pembahasan masalah hati dan perasaan manusiwainya, turut serta pula dalam ajang tersebut yang serta merta menyadarkan public bahwa masalah cinta lawan jenis adalah milik semua. Masih jelas dalam ingatan saya ketika di satu episode tampak salah seorang paranormal tenar di Indonesia yang bukan saja bergaya dengan pakaian full colournya, namun juga berperangai lain dari yang biasa kita saksikan dengan pembawaan serius nan misterius. Bahkan, alih-alih berpose seram atau penuh wibawa, sang paranormal justru bergaya layaknya playboy ‘genit’ memperebutkan hati seorang wanita cantik yang dihadirkan sebagai peserta. Jadi, sampai disini makin jelas dan lugas, bahwa masalah hati bukan hanya milik segelintir orang ‘normal’, karena yang biasanya terkesan tak tertarik dengan dunia normalpun bersikap sama jika harus berurusan dengan hati (baca : cinta dan lawan jenis). Hanya satu kata yang bisa menjelaskan semua itu, bahwa persoalan ini adalah manusiawi. Wajar dimliki semua orang yang berorientasi pada lawan jenis untuk menjadi pasangan atau belahan hatinya.

Memperjelas fenomena ini dari sisi manusiawi tadi, jelas tidak dapat dilewatkan bahwa adanya acara ini merupakan pengakuan dunia terhadap kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang tak bisa hidup seorang diri. Ajang ini secara halus membantu menyatukan pria dan wanita single untuk menjadi pasangan, lepas dari adanya anggapan bahwa pasangan-pasangan yang tersatukan hanya scenario. Kodrat bahwa pria tertarik dengan wanita dan sebaliknya, coba diangkat dalam ajang ini dengan cara yang lebih dramatis. Ketika sebelumnya persoalan memilih pasangan adalah area pribadi yang tak terpublikasikan secara luas, disini justru sisi itulah yang menjadi hidangan pokok sebagai tontonan masyarakat dimanapun keberadaannya. Si A mendapat pasangan si B dengan saingan si C dan proses tawar menawar, tarik menarik serta timbang menimbang dalam proses menyatukan pasangan pada acara ini menunjukkan betapa sisi manusiawi kini menjadi komersialisasi untuk bisnis pertelevisian yang cukup menjanjikan. Taruhlah acara reality show yang mengandalkan kepekaan seseorang untuk menolong sesamanya, kemudian acara yang berusaha mengurai benang kusut pada pasangan nikah yang berada di sisi jurang perceraian, atau bahkan acara yang memicu kekesalan hingga lepas dari batas kesabarannya dalam menghadapi masalah-masalah yang telah direkayasa, semua itu sontak membuka mata kita bahwa kini persoalan pribadi yang erat dengan sisi manusiawi seseorang dengan mudahnya menjadi konsumsi umum dan rentan dengan rekayasa yang melicinkan bisnis hiburan di Indonesia.

Tidak menjadi soal selama pihak-pihak bersangkutan memberi persetujuan atas apa yang diangkat dan tampil di layar kaca, apalagi jika sisi komersial terbayarkan dengan animo masyarakat yang tinggi untuk mengikuti acara-acara tersebut. Namun perlu pula dilihat secara objektif, sampaikah pesan baik yang ingin disampaikan dalam semua ajang atau reality show tersebut. Atau jangan-jangan hanya budaya praktis nan imajinatif yang diserap masyarakat serta menjadi acuan dalam realita kehidupan sehari-hari.

Kembali pada acara bertajuk “Ambil aku keluar” yang diperbincangkan sejak awal, memperoleh pasangan adalah kebutuhan manusiawi yang tak terelakkan menimpa semua orang dengan beragam latar belakang. Adapun penjelasan dalan agamapun membolehkan dan justru memastikan bahwa setiap orang telah digariskan siapa jodohnya masing-masing dengan caranya sendiri. Sehingga acara ini kiranya menjadi jembatan bagi siapapun untuk menunaikan perintah agamanya dengan menjadi pasangan bagi yang lainnya. Semua maksud baik tersebut diharapkan tidak hanya sebagai pembenar atas tontonan yang diperlihatkan. Meskipun pernah suatu ketika acara ini melibatkan pengemuka agama untuk menjadi penasehat atau komentator, namun tak semua yang tampak patut menjadi panutan. Kata-kata penolakan (baca : penghinaan) yang rentan berunsur SARA, perlakuan vulgar yang terkadang risih untuk disaksikan, serta proses ‘menjual diri’ yang semakin berani dari peserta-peserta yang turut dalam ajang tersebut, kiranya harus menjadi perhatian dari pihak penyelenggara maupun masyarakat sendiri agar dapat bijak menyikapi tontonan yang ada. Disini jelas bahwa adab dan norma tetap perlu disatukan dalam dunia hiburan yang menjadi konsumsi bersama. Jangan lekas meniru gaya dari luar hanya karena semata-mata program yang diselenggarakan adalah hasil adaptasi dari program luar negeri yang notabene berbeda budaya. Sehingga nantinya akan terwujud cita-cita idealis, agamais, dan normative, bahwa tontotan yang ditampilkan mampu memberi kelegaan bagi banyak pihak yang selama ini menaruh perhatian atau kekhawatiran terhadap acara-acara serupa di televisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar