Sebagai kacamata awal membaca tulisan ini, ada baiknya diketahui terlebih dahulu apa isi proposal dan dalam rangka apa proposal tersebut dilayangkan ke beberapa perusahaan besar yang menurut kami cukup mumpuni untuk menjadi penyandang dana bagi proyek kami.
Sebut saja proyek kami ini dengan KKN, proyek wajib mahasiswa yang masih menjadi trend dikalangan banyak perguruan tinggi di Indonesia. KKN kami yang sangat intens menyoroti masalah lingkungan mengerucut pada focus perbaikan lingkungan. Artinya daerah pilihan kami sebagai lokus proyek KKN adalah daerah yang memiliki masalah dalam persoalan sanitasi lingkungan. Meskipun kami yakin daerah dengan kriteria tersebut cukup mudah ditemui di sekeliling kami, namun kami memilih jalan praktis dengan mengkesampingkan hal tersebut dan bergerak dengan kacamata kuda. Langkah tersebut terpaksa kami ambil karena keterbatasan (financial pastinya) dan juga waktu serta kompetensi kami sebagai seorang yang (masih/hanya) bergelar mahasiswa. Akhirnya dengan kacamata kuda kami, dipilihlah satu daerah sebagai tujuan proyek KKN. Di daerah tersebut masalah pokok yang dihadapi sebenarnya ‘standar’, yaitu masalah kurangnya kesadaran public lokal dalam mengelola lingkungannya sendiri. Mengapa saya katakan demikian ? sebab tidak relevan kiranya jika saya katakan bahwa masalah pokoknya adalah karena persoalan finansial, sebab sebagai tambahan informasi bahwa daerah tersebut merupakan penerima dana bantuan pembangunan dari pemerintah provinsi yang besarnya cukup signifikan dan hampir menghabiskan kesepuluh jari kita untuk menghitung jumlah nol di belakang angka yang tertera. Ya, persoalan dana sepertinya bukan menjadi masalah, namun karena sebagai ‘tamu’ yang sekiranya datang ke daerah tersebut untuk mencoba menawarkan solusi atas masalah yang ada, maka kami mempertimbangkan untuk turut ‘urunan’ alias menambah pemasukan bagi operasionalisasi proyek kami. Sehingga nantinya persoalan keuangan dapat dipikul bersama antara desa dan tim KKN kami. Jadi, kedudukan menjadi sama rata, tidak hanya menjadi beban desa tetapi kami juga berupaya untuk turun ke lapangan mengais dana demi kelancaran proyek idealis tim KKN kami.
Sampai disini masalah belum selesai, justru akan menjadi awal dari pergolakan lahir batin kami sebagai sub divisi tim bagian pencari dana. Langkah awal kami menyusun proposal dengan bahasa dan tampilan yang se’cute’ mungkin untuk menarik perhatian sang calon penyandang dana telah usai pada minggu kedua. Kemudian langkah kedua, kami menjajaki daerah-daerah baru yang notabene sebagai lokasi dari perusahaan-perusahaan terkemuka yang menjadi sasaran penyandang dana tim KKN kami. Setelah melalui survey panjang, terkirimlah semua proposal ke alamat masing-masing.
Waktu yang dijanjikan untuk follow up terhadap pengajuan proposal kami terlewati satu, dua hari. Sampai akhirnya inisiatif kami menjadi jalan terbukalah fakta yang selama ini kamai nanti. Satu, dua perusahaan memberi penolakan. Alasan pertama yang sangat tidak masuk akal adalah perusahaan telah menutup jalan bagi sponsorship dengan bentuk kegiatan apapun, alasan kedua, alokasi dana untuk tiga bulan kedepan sudah habis (yang bertepatan dengan rencana KKN kami), dan setelah kami tanya kapan akan dibuka kembali peluang sponsorship ternyata belum ada kepastian (lalu mengapa kepastian menutup penawaran internship begitu pasti ?). Dan selanjutnya ada satu perusahaan besar yang kami kira sangat menjanjikan, bahwa ia akan memberi bantuan karena program lingkungan sangat erat dan klop dengan program CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan mereka. Namun tanpa dinyana, jawaban sungguh mengecewakan. Alasan penolakan seperti ini, bahwa program KKN kami sangat mirip dengan program mereka sehingga alokasi dana CSR mereka sudah dipakai dalam kegiatan mereka sendiri, selanjutnya alasan kedua adalah bahwa kegiatan KKN kami diluar waktu pengalokasian/pengeluaran dana untuk program studi (alias program KKN), dan selanjutnya alasan yang sengaja ditambahi untuk semakin membuat kami mundur adalah bahwa lokasi KKN kami diluar jangkauan lokasi proyek CSR mereka. Lengkap sudah, dengan berbagai argumentasi yang saya kira bisa mematahkan argumentasi mereka, namun pada kenyataannya mereka tetap menolak, “over all, kami belum dapat mengalokasikan dana untuk KKN anda, karena kegiatan dalam KKN anda.. bla bla bla..”. Cukup sudah, akhirnya persoalan selesai dengan kerugian di pihak kami karena sudah mengeluarkan dana untuk pembuatan proposal sponsorship yang akhirnya tidak memberi hasil apapun.
Di tengah kekecewaan akhirnya kami sadar, mungkin saja ada motif lain mengapa mereka menolak bekerja bersama tim KKN kami. Ada banyak jalan dan alasan yang kira-kira bisa menjelaskan mengapa mereka menolak tawaran kerjasama ini, antara lain yang paling mengena adalah penolakan dari sebuah perusahaan penghasil teknologi mutakhir bagi peradaban manusia untuk mempermudah aksesibilitas. Perusahaan mereka akan terus bekerja karena produk mereka terjual, sedangkan dari sisi lingkungan jumlah produk yang terjual akan berbanding lurus dengan tingkat polusi di bumi ini. Artinya, persoalan lingkungan sebenarnya juga menjadi tanggung jawab mereka sebagai perusahaan penghasil alat-alat atau teknologi canggih tersebut. Alhasil, misi lingkungan yang kami angkat seolah ironis sekali dengan apa yang selama ini mereka jalankan. Dan lagi-lagi hanya dugaan, bahwa penolakan ini mungkin dilandasi oleh perasaan malu dan seolah menjilat ludah sendiri bagi perusahaan yang sebenarnya merasa bertanggungjawab juga dengan kerusakan lingkungan kita.
Kegagalan akan seterusnya menjadi pengalaman buruk jika kita tidak pandai mengolah kekecewaan dibaliknya menjadi sebuah hikmah yang tersembunyi. Minimal pengalaman penolakan yang lalu menjadi pelajaran yang akan saya bagi disini, bahwa pengajuan proposal sponsorship setidaknya perlu memperhatikan hal-hal berikut :
Pertama, Pilih perusahaan/instansi yang memiiki kesamaan persepsi atau orientasi dengan proyek/acara kita (dapat dilihat dari program perusahaan/instansi, logo, jargon, kegiatan-kegiatan non profit yang dilaksanakan, dsb)
Kedua, Pastikan produk perusahaan/instansi tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan proyek kita
Ketiga, Jika sasaran sponsor adalah untuk menambah dana cash, maka upayakan jangan memilih perusahaan/instansi yang menghasilkan produk jadi yang dijual, dan pilih perusahaan/instansi netral yang bergerak dalam bidang perbankan, pertambangan, dsb
Empat, Jika perusahaan/instansi yang kita pilih adalah perusahaan penghasil barang-barang tertentu, pastikan barang tersebut dapat dimanfaatkan untuk menunjang proyek kita (misalnya perusahaan alat-alat tulis dapat dimanfaatkan untuk menunjang program pendidikan tambahan di desa, dsb), hal tersebut mengantisipasi jika perusahaan tidak memberi bantuan dalam bentuk uang cash namun berupa produk jadi
Lima, Pilih perusahaan yang telah terbukti ‘kebaikannya’ dalam program-program sponsorship
Enam, Jika saat awal pengajuan telah muncul tanda-tanda penolakan, jangan memaksa untuk meninggal proposal kita, karena toh kemungkinan besar tetap saja akan ditolak dan kita rugi satu berkas sponsor yang terlanjur diajukan. Lebih baik menerima dengan legowo dengan argument seperlunya, namun tetap realistis dan mengalihkan proposal untuk perusahaan/instansi lainnya
Tujuh, Jarang ada instansi public atau pemerintah yang memberi bantuan uang/dana cash, jadi pastikan khusus untuk instansi semacam ini adalah bantuan dalam bentuk tenaga sosialisasi, dan barang-barang tertentu saja (misalnya buku-buku bacaan dari dinas kearsipan/perpustakaan daerah, dsb)
Delapan, Usahakan mengajukan proposal langsung di kantor pusat yang terdekat dengan lokasi kita, atau kalau tidak memungkinkan di kantor-kantor perwakilan yang berada di kota besar di sekitar kita
Sembilan, Untuk lokasi perusahaan, pilih yang mendekati lokasi proyek kita
Sepuluh, Dan yang terpenting, tetap bersabar menunggu pemberitahuan persetujuan atau penolakan, serta tidak bosan menghubungi perusahaan/instansi terkait untuk meminta kejelasan
Semoga tips diatas dapat membantu, atau minimal membuka mata kita bahwa tak semua perusahaan/instansi serius dengan tawaran kerjasama sponsorship yang mereka tawarkan.
Sebut saja proyek kami ini dengan KKN, proyek wajib mahasiswa yang masih menjadi trend dikalangan banyak perguruan tinggi di Indonesia. KKN kami yang sangat intens menyoroti masalah lingkungan mengerucut pada focus perbaikan lingkungan. Artinya daerah pilihan kami sebagai lokus proyek KKN adalah daerah yang memiliki masalah dalam persoalan sanitasi lingkungan. Meskipun kami yakin daerah dengan kriteria tersebut cukup mudah ditemui di sekeliling kami, namun kami memilih jalan praktis dengan mengkesampingkan hal tersebut dan bergerak dengan kacamata kuda. Langkah tersebut terpaksa kami ambil karena keterbatasan (financial pastinya) dan juga waktu serta kompetensi kami sebagai seorang yang (masih/hanya) bergelar mahasiswa. Akhirnya dengan kacamata kuda kami, dipilihlah satu daerah sebagai tujuan proyek KKN. Di daerah tersebut masalah pokok yang dihadapi sebenarnya ‘standar’, yaitu masalah kurangnya kesadaran public lokal dalam mengelola lingkungannya sendiri. Mengapa saya katakan demikian ? sebab tidak relevan kiranya jika saya katakan bahwa masalah pokoknya adalah karena persoalan finansial, sebab sebagai tambahan informasi bahwa daerah tersebut merupakan penerima dana bantuan pembangunan dari pemerintah provinsi yang besarnya cukup signifikan dan hampir menghabiskan kesepuluh jari kita untuk menghitung jumlah nol di belakang angka yang tertera. Ya, persoalan dana sepertinya bukan menjadi masalah, namun karena sebagai ‘tamu’ yang sekiranya datang ke daerah tersebut untuk mencoba menawarkan solusi atas masalah yang ada, maka kami mempertimbangkan untuk turut ‘urunan’ alias menambah pemasukan bagi operasionalisasi proyek kami. Sehingga nantinya persoalan keuangan dapat dipikul bersama antara desa dan tim KKN kami. Jadi, kedudukan menjadi sama rata, tidak hanya menjadi beban desa tetapi kami juga berupaya untuk turun ke lapangan mengais dana demi kelancaran proyek idealis tim KKN kami.
Sampai disini masalah belum selesai, justru akan menjadi awal dari pergolakan lahir batin kami sebagai sub divisi tim bagian pencari dana. Langkah awal kami menyusun proposal dengan bahasa dan tampilan yang se’cute’ mungkin untuk menarik perhatian sang calon penyandang dana telah usai pada minggu kedua. Kemudian langkah kedua, kami menjajaki daerah-daerah baru yang notabene sebagai lokasi dari perusahaan-perusahaan terkemuka yang menjadi sasaran penyandang dana tim KKN kami. Setelah melalui survey panjang, terkirimlah semua proposal ke alamat masing-masing.
Waktu yang dijanjikan untuk follow up terhadap pengajuan proposal kami terlewati satu, dua hari. Sampai akhirnya inisiatif kami menjadi jalan terbukalah fakta yang selama ini kamai nanti. Satu, dua perusahaan memberi penolakan. Alasan pertama yang sangat tidak masuk akal adalah perusahaan telah menutup jalan bagi sponsorship dengan bentuk kegiatan apapun, alasan kedua, alokasi dana untuk tiga bulan kedepan sudah habis (yang bertepatan dengan rencana KKN kami), dan setelah kami tanya kapan akan dibuka kembali peluang sponsorship ternyata belum ada kepastian (lalu mengapa kepastian menutup penawaran internship begitu pasti ?). Dan selanjutnya ada satu perusahaan besar yang kami kira sangat menjanjikan, bahwa ia akan memberi bantuan karena program lingkungan sangat erat dan klop dengan program CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan mereka. Namun tanpa dinyana, jawaban sungguh mengecewakan. Alasan penolakan seperti ini, bahwa program KKN kami sangat mirip dengan program mereka sehingga alokasi dana CSR mereka sudah dipakai dalam kegiatan mereka sendiri, selanjutnya alasan kedua adalah bahwa kegiatan KKN kami diluar waktu pengalokasian/pengeluaran dana untuk program studi (alias program KKN), dan selanjutnya alasan yang sengaja ditambahi untuk semakin membuat kami mundur adalah bahwa lokasi KKN kami diluar jangkauan lokasi proyek CSR mereka. Lengkap sudah, dengan berbagai argumentasi yang saya kira bisa mematahkan argumentasi mereka, namun pada kenyataannya mereka tetap menolak, “over all, kami belum dapat mengalokasikan dana untuk KKN anda, karena kegiatan dalam KKN anda.. bla bla bla..”. Cukup sudah, akhirnya persoalan selesai dengan kerugian di pihak kami karena sudah mengeluarkan dana untuk pembuatan proposal sponsorship yang akhirnya tidak memberi hasil apapun.
Di tengah kekecewaan akhirnya kami sadar, mungkin saja ada motif lain mengapa mereka menolak bekerja bersama tim KKN kami. Ada banyak jalan dan alasan yang kira-kira bisa menjelaskan mengapa mereka menolak tawaran kerjasama ini, antara lain yang paling mengena adalah penolakan dari sebuah perusahaan penghasil teknologi mutakhir bagi peradaban manusia untuk mempermudah aksesibilitas. Perusahaan mereka akan terus bekerja karena produk mereka terjual, sedangkan dari sisi lingkungan jumlah produk yang terjual akan berbanding lurus dengan tingkat polusi di bumi ini. Artinya, persoalan lingkungan sebenarnya juga menjadi tanggung jawab mereka sebagai perusahaan penghasil alat-alat atau teknologi canggih tersebut. Alhasil, misi lingkungan yang kami angkat seolah ironis sekali dengan apa yang selama ini mereka jalankan. Dan lagi-lagi hanya dugaan, bahwa penolakan ini mungkin dilandasi oleh perasaan malu dan seolah menjilat ludah sendiri bagi perusahaan yang sebenarnya merasa bertanggungjawab juga dengan kerusakan lingkungan kita.
Kegagalan akan seterusnya menjadi pengalaman buruk jika kita tidak pandai mengolah kekecewaan dibaliknya menjadi sebuah hikmah yang tersembunyi. Minimal pengalaman penolakan yang lalu menjadi pelajaran yang akan saya bagi disini, bahwa pengajuan proposal sponsorship setidaknya perlu memperhatikan hal-hal berikut :
Pertama, Pilih perusahaan/instansi yang memiiki kesamaan persepsi atau orientasi dengan proyek/acara kita (dapat dilihat dari program perusahaan/instansi, logo, jargon, kegiatan-kegiatan non profit yang dilaksanakan, dsb)
Kedua, Pastikan produk perusahaan/instansi tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan proyek kita
Ketiga, Jika sasaran sponsor adalah untuk menambah dana cash, maka upayakan jangan memilih perusahaan/instansi yang menghasilkan produk jadi yang dijual, dan pilih perusahaan/instansi netral yang bergerak dalam bidang perbankan, pertambangan, dsb
Empat, Jika perusahaan/instansi yang kita pilih adalah perusahaan penghasil barang-barang tertentu, pastikan barang tersebut dapat dimanfaatkan untuk menunjang proyek kita (misalnya perusahaan alat-alat tulis dapat dimanfaatkan untuk menunjang program pendidikan tambahan di desa, dsb), hal tersebut mengantisipasi jika perusahaan tidak memberi bantuan dalam bentuk uang cash namun berupa produk jadi
Lima, Pilih perusahaan yang telah terbukti ‘kebaikannya’ dalam program-program sponsorship
Enam, Jika saat awal pengajuan telah muncul tanda-tanda penolakan, jangan memaksa untuk meninggal proposal kita, karena toh kemungkinan besar tetap saja akan ditolak dan kita rugi satu berkas sponsor yang terlanjur diajukan. Lebih baik menerima dengan legowo dengan argument seperlunya, namun tetap realistis dan mengalihkan proposal untuk perusahaan/instansi lainnya
Tujuh, Jarang ada instansi public atau pemerintah yang memberi bantuan uang/dana cash, jadi pastikan khusus untuk instansi semacam ini adalah bantuan dalam bentuk tenaga sosialisasi, dan barang-barang tertentu saja (misalnya buku-buku bacaan dari dinas kearsipan/perpustakaan daerah, dsb)
Delapan, Usahakan mengajukan proposal langsung di kantor pusat yang terdekat dengan lokasi kita, atau kalau tidak memungkinkan di kantor-kantor perwakilan yang berada di kota besar di sekitar kita
Sembilan, Untuk lokasi perusahaan, pilih yang mendekati lokasi proyek kita
Sepuluh, Dan yang terpenting, tetap bersabar menunggu pemberitahuan persetujuan atau penolakan, serta tidak bosan menghubungi perusahaan/instansi terkait untuk meminta kejelasan
Semoga tips diatas dapat membantu, atau minimal membuka mata kita bahwa tak semua perusahaan/instansi serius dengan tawaran kerjasama sponsorship yang mereka tawarkan.
menurut pengalamannya, perusahaan apa sch yang bersahabat dlam sponsorship..??
BalasHapusplease reply @nos.tu.brothers@gmail.com