09/08/09

Apa jadinya “Dunia Tanpa Manusia” ?



Satu hari sebelum pameran buku di JEC ditutup, baru saya teringat akan diselenggarakannya event ini. Padahal sudah lama saya menantikan pameran buku yang biasanya di selenggarakan di Gedung Wanitatama Yogyakarta. Karena pameran buku yang bertajuk ‘pameran buku terbesar’ ini diadakan di JEC dengan IKAPI sebagai penyelenggaranya (4-9 Agustus 2009), maka dalam benak saya pameran ini benar-benar mengambil seluruh tempat di dalam gedung JEC. Namun ketika saya datang malam itu, ternyata sedang berlangsung lebih dari satu event di JEC dalam waktu yang bersamaan. Alhasil, bayangan saya pupus sudah ketika menyaksikan bahwa pameran ‘hanya’ mengambil sebagian dari luas keseluruhan gedung. Walaupun demikian, pameran ini tetap menarik dan lengkap. Menarik karena banyak potongan harga yang memanjakan pengunjung, dan lengkap karena banyak penerbit yang ikut berpartisipasi dalam pameran. Entah berapa penerbit mendirikan stand dalam pameran ini, yang jelas selama dua jam berputar area pameran, tetap tidak membuat saya tuntas mengunjungi semua stand satu persatu.

Misi saya malam itu sebenarnya adalah mencari bacaan ringan untuk pengisi waktu luang menunggu masa libur usai. Namun demikian setelah berputar tak kurang dari dua jam akhirnya pandangan saya tertuju pada satu buku yang tampaknya cukup berat. Berat di bahasan, berat di halaman, dan berat di ongkos. Namun ketertarikan di awal membuat saya tak berhenti menerka-nerka seperti apa isi buku tersebut. Sebuah buku terjemahan dengan judul asli ‘The World Without Us’ karangan Alan Weisman yang mendapat penghargaan sebagai buku nonfiksi terbaik pilihan Majalah Time selanjutnya menjadi pilihan saya. Ketika membaca judulnya langsung saya simpulkan bahwa buku ini adalah prediksi atau hasil imajinasi dari penulis. Namun kemudian secara lebih jauh saya ketahui bahwa buku ini ditulis berdasarkan riset langsung oleh penulis yang kemudian secara otomatis menempatkannya tidak hanya sekedar sebagai cerita nonfiksi tanpa bukti.

Membaca sinopsis di balik cover buku maka pikiran saya langsung terbawa untuk turut berimajinasi atau lebih tepatnya berpikir jauh ke depan jika seandainya manusia telah hilang dari muka bumi. Pada sinopsis tersebut dikatakan bahwa seluruh infrastruktur yang selama ini berdiri dengan megahnya tak akan dapat bertahan selepas hilangnya manusia, bahkan pipa-pipa dan kabel tembaga yang selama ini mengalirkan energi bagi kehidupan manusia tak luput dari kerusakan dan akhirnya kehilangan fungsinya. Disebut pula kemungkinan kembali menyeruaknya hutan belantara di seantero bumi setelah runtuhnya bangunan-bangunan yang sebelumnya kuat bercokol di permukaannya. Menyeramkan memang, namun saya sadari bahwa hal tersebut mungkin saja terjadi. Secara logika benda-benda di sekeliling kita merupakan benda yang bekerja karena difungsikan oleh manusia, jika manusia tidak ada maka bayangkanlah benda tersebut akan tergeletak diam tak bergerak, rusak, dan lama kelamaan akan musnah ditelan waktu. Selain membahas benda-benda yang segera lenyap, buku ini juga berusaha mengupas karya seni atau kebudayaan apa yang paling lama bertahan dan menjadi ‘hadiah terakhir terhadap alam semesta’.

Bacaan ini sebenarnya cukup berat dalam kapasitas saya yang jauh dari ilmu-ilmu alam atau ilmu fisik, namun saya penasaran akan jawaban dari pertanyaan yang ditulis di awal sinopsis mengenai ‘Bagaimana pengaruh manusia atas planet ini ?’ yang kemudian akan mengarah pada dampak dari ‘dosa-dosa’ manusia terhadap bumi selama ini. Pastinya jawaban tersebut tidak akan saya peroleh secara gamblang kecuali saya membaca keseluruhan isi buku ini. Maka, tulisan ini akan menjadi awal dari ‘kerja keras’ saya selama beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan ke depan untuk berusaha menaklukkan karya yang disebut-sebut sebagai International Bestseller ini.

M.O.C.H.I




Bukan tanpa alasan, Mochi menjadi inspirasi menulis saya kali ini. Seperti biasa, jika kantuk tak kunjung menyerang maka di depan layar komputerlah saya kembali datang. Dan kebetulan, tepat di depan saya terhidang satu keranjang Kue Mochi, oleh-oleh dari seorang teman. Entah karena rasa penasaran atau buah dari keisengan, akhirnya saya mencoba mencari tahu cikal bakal dari Kue ‘aneh’ nan kenyal ini.

Pada dasarnya rasa kue mochi yang manis tidak terlalu cocok di lidah saya, apalagi dengan taburan tepung yang bagi saya terasa hambar dan lagi-lagi ‘aneh’. Namun ketika beberapa jam belakangan keranjang Mochi selalu tertangkap mata saya, maka tak lama satu butir kue mochi sukses tertelan dengan indahnya. Dan seperti janji saya di awal, mari kita kuak misteri terpendam dari kue yang lekat dengan Negeri sakura ini.


Ketika kata 'mochi' saya ketikkan dalam kotak google, muncullah satu halaman Wikipedia dimana saya temukan kisah ‘seorang’ Mochi. Menurut sumber tersebut, kue mochi adalah satu dari beragam kue tradisional Jepang yang dalam bahasa mereka disebut sebagai Wagashi. Mochi merupakan satu dari beragam Wagashi yang menjadi penganan penyerta dalam upacara minum teh. Sebagai penyeimbang dari rasa teh yang pada umumnya pahit atau sepat maka dihidangkanlah Kue Mochi atau wagashi lainnya dalam rasa yang sangat manis. Dari sinilah kemudian banyak bermunculan wagashi sesuai musim yang sedang terjadi di Jepang. Perbedaan yang mencolok tiap wagashi dalam musim yang berlainan ditampilkan melalui warna dan bentuknya yang dianggap bisa mewakili warna alam di setiap musim tersebut. Walaupun demikian, seringkali dijumpai beragam wagashi sepanjang tahun tanpa peduli musim yang sedang terjadi.

Salah satu wagashi yang menjadi tokoh utama kali ini adalah Kue Mochi, kue dari bahan dasar tepung beras atau ketan ini memiliki bentuk bulat pipih yang seringkali disajikan di dalam keranjang bambu dengan logo yang bertuliskan huruf Jepang. Entah apa artinya yang jelas dari situlah muncul kekhasan tersendiri bahwa Mochi adalah Jepang, atau sebaliknya. Wujud mochi yang khas dengan balutan tepung memiliki pangsa pasar tersendiri di Indonesia, pamornya dikalangan wisatawan lokal ketika menginjakkan kaki di daerah yang disebut-sebut sebagai penghasil mochi sering mengalahkan potensi wisata di daerah tersebut. Sebagai buah tangan, mochi tidaklah mengecewakan. Keunikan pembungkusnya dan ke’anehan’ rasa Mochi menjadi ketertarikan tersendiri bagi konsumen penikmat Mochi.

Statusnya sebagai ‘pendatang’ dari negeri Jepang tak membuatnya kalah tenar dengan kue-kue tradisional asli dari Indonesia. Maka pertanyaan saya, adakah kue tradisional asli dari Indonesia yang bernasib sama dengan Kue mochi di negeri kita ini ? padahal jika ditimbang dari rasa, kue-kue tradisional Indonesia tak kalah nikmatnya dengan kue-kue khas luar. Kalau pasar luar negeri belum bisa menerima kue tradisional khas Indonesia sebagai penganan mereka, maka sudah sepantasnya kue-kue semacam putu, onde-onde, leupeut jagung, klepon, gethuk, dodol dan banyak ragam lainnya kita posisikan sebagai kuliner khas di tanah air yang layak dihidangkan di hotel-hotel berbintang atau rapat-rapat kenegaraan yang dihadiri oleh tamu-tamu asing. Dan usaha itu tampaknya telah banyak kita jumpai ketika beragam food promotion sering diselenggarakan di dalam maupun di luar negeri. Meskipun pada kenyataannya upaya tersebut belum cukup membuat Indonesia dikenal dengan ‘gethuknya’ atau ‘putunya’ dan lain sebagainya, namun usaha tersebut patut mendapat dukungan dari kita sebagai pewaris kekayaan nusantara. Jangan sampai kekayaan kuliner kita kembali diklaim oleh negara-negara lain hanya karena kita lengah akan potensi yang senyatanya ada di depan mata.

07/08/09

Beranjak dari kamar kos (bagian III)


Saya kembali berujar, inilah Yogya dengan segala fasilitasnya yang tak akan saya sia-siakan..
Berlokasi di Taman Budaya Yogyakarta yang terletak di area cagar budaya Benteng Vredeburg, kini saya berada dalam misi untuk beranjak dari kamar kos mencoba menikmati dunia baru yang selama ini terlewatkan. Kejenuhan dalam lingkungan akademisi, organisasi, dan melompat dari satu kepanitiaan ke kepanitiaan yang lain membuat saya tertarik untuk melihat sesuatu yang berbeda..maka malam ini saya berada di dalam komunitas dan pemikiran baru sebagai seorang awam. Jika selama ini pilihan hang out lebih berkisar pada tataran 'nongkrong' dan wisata ke objek-objek alam atau keramaian di pusat-pusat kota, kini saya beranjak masuk lebih dalam ke sebuah gedung budaya yang sedang menunjukkan eksistensi dunia perfiman Indonesia. Bukan XXI atau 21 yang kini menjadi tujuan saya, hanya sebuah gedung kuno yang dihias apik dan elegan.

Event yang bertajuk Jogja-NETPAC Asian Film Festival ini menginjak hari ketiga ketika saya tiba malam itu. Tujuan saya tak lain dan tak bukan untuk menyaksikan sebuah film yang mungkin tak banyak dikenal oleh kalangan pecinta film-film komersil. Sebuah film Indonesia yang mengambil judul Blind Pig Who Wants to Fly besutan seorang direktor yang kerap membidani film-film dokumenter.

Babi buta yang ingin terbang, sebuah film yang tidak mudah saya pahami. Alur cerita yang berubah-ubah, padat, dan memiliki banyak setting waktu atau tempat membuat saya sedikit kewalahan memcerna makna yang ingin disampaikan. Baru pada bedah film yang berlangsung kemudian kian menguatkan pemahaman saya akan makna yang ingin ditunjukkan. Sebuah film yang pada dasarnya menceritakan diskriminasi etnis di Indonesia, film berdasarkan kisah nyata seorang etnis Cina yang merasakan pahitnya realita hidup karena isu etnisitas yang kuat berhembus kala itu. Antara lain yang saya ingat, tampak adegan seorang anak Cina yang terus mendapat perlakuan buruk dari teman-temannya, dan secuil kisah tentang keinginan seseorang untuk 'menghilangkan' etnis Cinanya demi sebuah perlakuan yang lebih adil. Tak lepas dari jalan cerita yang cepat, kembali tampil adegan-adegan yang berisikan pesan mengenai kebingungan seorang etnis keturunan Cina di Indonesia serta ketakutan dan kemarahan akibat perlakuan diskriminasi yang diterimanya. Lingkungan yang tak banyak mendukung seolah menjadi trauma yang melekat bagi pelaku. Semakin menguatkan pesan moral yang ingin disampaikan, dicuplik pula berita-berita kerusuhan tahun 90an yang banyak memakan korban etnis keturunan di Indonesia.

Secara keseluruhan memang tidak begitu banyak adegan-adegan yang dapat saya artikan, namun tema besar yang melngkupinya cukup membuat saya terkesan dan terdorong untuk melihat lebih jauh realita hidup di Indonesia yang ketika itu sangat tidak manusiawi. Realita yang harus dialami oleh golongan minoritas di tengah lingkungan yang tidak menghendakinya.

Dalam benak yang masih terkaget-kaget akan realita yang baru saja ditunjukkan, saya coba menarik diri sejenak dan membayangkan situasi tersebut. Agak susah memang bagi saya yang terlahir sebagai etnis lokal Indonesia untuk memahami perasaan dan kepedihan etnis Cina kala itu. Namun cukup menjadi sebuah renungan di dalam diri saya akan fatalnya isu diskriminasi etnis, ras, agama atau apapun itu di dalam negara demokrasi seperti Indonesia. Fatal karena pada dasarnya diskriminasi hanyalah buah dari paham-paham yang berpikiran sempit yang hanya bertindak berdasarkan emosi sebagai wujud dari keangkuhan sebagian kecil pihak dalam negara yang sesungguhnya sangat menjunjung keanekaragaman budaya, latar belakang, ideologi dan lain sebagainya.

05/08/09

Jurnalis, idealnya seperti apa?

"..Aktivitas utama dalam jurnalisme adalah pelaporan kejadian dengan menyatakan siapa, apa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana (dalam bahasa Inggris dikenal dengan 5W+1H) dan juga menjelaskan kepentingan dan akibat dari kejadian atau trend.." (wikipedia)

Asumsi saya dengan membaca satu bait di atas adalah bahwa jurnalis intinya bertanggung jawab sebagai pelapor, penyampai, atau mewujudkan sebuah peristiwa atau fenomena dalam bentuk berita, artikel atau semacamnya. Bukan bermaksud membatasi pengertian yang sesungguhnya, namun saya hanya mencoba mengungkap makna dasar dari apa yang saya ketahui selama ini. Dengan makna demikian, mungkin akan muncul dinding kokoh yang akan membatasi dinamika profesi jurnalis dari realita yang ada. Seperti yang seringkali saya saksikan di layar kaca atau berdasarkan pengalaman, pada kenyataannya jurnalis terkadang menyerupai interogator yang lebih dominan dan memposisikan narasumber sebagai 'terdakwa' tunggal yang harus memberi statement sesuai dengan 'arahan' jurnalis tersebut. Atau dengan kata lain, wawancara yang lebih mirip dengan interogasi seringkali dan saya khawatirkan akan menyebabkan narasumber 'terpaksa' mengakui atau menyatakan sesuatu hal yang sebenarnya fiktif menjadi kenyataan yang dikehendaki wartawan. Sehingga jika dirunut dari makna dasar dari profesi jurnalisme, maka dimana unsur pelaporan yang dikehendaki? sebab jika wawancara lebih menyerupai interogasi apakah tidak mungkin jika akhirnya laporan yang muncul akan bias dan subjektif? karena yang saya pahami sejak awal adalah bahwa pelaporan merupakan aktivitas menyampaikan yang sesungguhnya terjadi, jika narasumber memang tidak tahu ya pada kenyataanya memang demikian adanya..namun akan lain cerita jika ketidaktahuan narasumber dimaknai secara berbeda dengan subjektifitas jurnalis. Saya tidak bermaksud menghilangkan fungsi jurnalis sebagai pencari berita yang memang harus mengorek info sedalam-dalamnya dari seorang narasumber tertentu, namun apakah dengan interogasi secara membabi buta kemudian akan muncul informasi yang lebih valid ? bahkan jika di tayangan televisi sedang disiarkan wawancara di lapangan bersama seorang narasumber (katakanlah ia kerabat dari seseorang yang diduga menjadi tersangka terorisme), maka yang akan kita saksikan adalah pertanyaan-pertanyaan yang terkadang tidak relevan ditujukan pada kapasitas narasumber bersangkutan. Selain tidak relevan, kadang kala rentetan pertanyaan yang muncul justru menyaingi interogasi dari badan-badan intelejen kita atau pihak berwajib yang lebih berwenang. Benar saya akui dan saya sadari, memang seorang jurnalis memiliki tanggung jawab pada media tempatnya bernaung untuk menyajikan informasi teraktual yang 'menjual'..namun jika hanya indikator tersebut yang digunakan tanpa melihat unsur validitas sebuah informasi, bukan tidak mungkin justru akan terjadi sebuah pembohongan kepada publik melalui informasi yang disampaikan.

Idealnya seperti apa ? mungkin jika saya menyimpulkan dari apa yang saya saksikan dan renungkan. Bahwa jurnalis pada dasarnya memiliki keistimewaan dari yang lainnya, melalui kapasitas yang dimilikinya seorang jurnalis bisa menanyakan langsung pada narasumber terkait dengan apa yang terjadi dan hal tersebut menjadi wajar ketika orang lain menyadari bahwa ia jurnalis dan memang demikianlah tugasnya. Namun kemudian apabila menyinggung mengenai idealnya profesi jurnalis, maka perlulah kita menyimak kepentingan dan hak orang lain (narasumber) sebagai manusia bebas dan merdeka tanpa harus dikejar dan didakwa oleh statement-statemen dalam media.

Tulisan ini akan lebih relevan jika kita kaitkan dengan fenomena saat ini terkait dengan berita-berita media mengenai terorisme, kecelakaan penerbangan, maupun kekisruhan pemilihan umum yang masih relevan kita perbincangkan. Dimana dalam peristiwa-peristiwa tersebut seringkali kita saksikan seorang narasumber yang 'dituduh' bersalah oleh opini media dicecar beragam pertanyaan untuk sebuah statement yang 'melegakan' bagi para wartawan.

Sebagai pemula dalam bidang ini, saya masih bertanya-tanya dan mencari bentuk ideal, seperti apa dan harus bagaimanakah seorang jurnalis sehingga tidak hanya menjunjung profesionalisme dalam bertugas, namun juga menyertakan aspek kesetaraan hak dan keberimbangan informasi.

02/08/09

Beristirahatlah kawan..

Sebuah perjalanan seorang anak manusia memang tak lepas dari ujian dan tantangan. untuk mereka yang selamat, pasti meyakini bahwa ujian dan tantangan adalah awal dari pendewasaan. Bagi yang tidak, inilah akhir dari perjalanan itu..

Tak kurang dari lima hari sejak kawan, saudara dan rekan Andika (Administrasi Negara '08) diberitakan tersesat di Gunung Semeru, akhirnya tepat hari Minggu 2 Agustus 2009 semua keingintahuan kami akan keberadaannya terjawab sudah. Di dasar jurang ditemukan sesosok tubuh yang akhirnya dipastikan milik kawan, saudara dan rekan kami, Andika.
Kami bersyukur Tuhan memberi kepastian pada kami disini, walaupun kenyataan yang kami terima bukanlah kebenaran yang kami harapkan bersama, Andika ditemukan tak bernyawa.

Belum habis kami membersihkan ruangan untuk doa bersama demi keselamatan Andika malam ini, belum tuntas pula tangan-tangan kami melipat lembar demi lembar alas duduk selepas acara doa bersama usai, dan belum surut pula optimisme kami menanti kabar yang terus berkembang.
Akhirnya Tuhan berkehendak lain, kisah Soe Hok Gie di Semeru kembali terulang..dan hari ini kami kehilangan seorang rekan, saudara dan kawan seperjuangan.
Senang mengenalmu kawan..Beristirahatlah dengan tenang dan damai..

Nol Kilometer..Untuk Kota Budaya yang Sebenarnya..

Kota budaya..jika dilihat dari peraduan katanya seharusnya memang lekat dengan segala hal yang berbudaya..memang begitulah kenyataannya, setiap sudut kota ini seolah merekam jejak perjuangan kebangkitan kota kala itu..
Yogyakarta, secara fisik memang tak jauh berbeda dengan kota-kota lain di sekitarnya..namun aura Yogya yang akhir-akhir ini berhasil menarik saya untuk kembali ke kota ini, menjadi satu yang tidak bisa disamakan dengan lainnya..

Keindahan ragawi sebuah budaya seringkali dapat disaksikan dan didokumentasikan. Namun lebih dari itu budaya mencakup pula nilai-nilai dan pola kehidupan dalam masyarakat. Mendekati makna budaya, mau tidak mau bayangan akan tari-tarian daerah, pakaian adat, maupun rumah dan senjata khas tiap daerah di Indonesia seringkali mendominasi pikiran kita. Dan memang, hal-hal itulah yang seringkali justru menjadi indikator dari seberapa berbudayanya sebuah kota. Paling konkrit dan mudah diamati, itulah alasan mengapa sebuah wujud kesenian paling banyak mendapat tempat di hati masyarakat akan makna kebudayaan yang sesungguhnya.

Yogyakarta sebagai pengusung jargon Kota Budaya tidak lepas dari hal-hal tersebut, tiap waktu akan mudah kita jumpai panggung jalanan yang bayak digelar di sudut-sudut kota yang berpotensi mejadi pusat perhatian.
Di persimpangan empat di Bantul, seringkali saya saksikan tari Jatilan atau semacamnya yang diperagakan oleh beberapa laki-laki dengan dandanan dan musik yang khas. Ada pula pagelaran wayang, yang tak jarang meramaikan halaman rektorat UGM maupun di UNY, dan yang paling sering dan mudah kita temui adalah berbagai pertunjukan musik atau tarian daerah dari seluruh nusantara di ujung Malioboro atau yang lebih dikenal dengan Area Nol Kilometer.

Coba datang, dan saksikan. Antusiasme masyarakat Yogyakarta dan pendatang seakan tidak pernah ada habisnya untuk mengapresiasi pertunjukan-pertunjukan seni jalanan ini. Yang terakhir saya alami, ruas jalan sepanjang Malioboro macet (1/8) akibat riuhnya suasana di Area Nol Kilometer dengan dua pertunjukan seni sekaligus. Tepat di depan Monumen Serangan 1 Maret atau di sebelah selatan Benteng Vredeburg berdiri sebuah panggung mungil yang mungkin hanya berkapasitas kurang dari 10 orang, namun demikian di depan panggung telah berjejal banyak penonton untuk menyaksikan tarian dan lagu-lagu daerah dari salah satu Propinsi. Kemudian tepat di seberang Jalan, atau di depan Gedung Agung yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari panggung sebelumnya, berlangsung tarian adat dari Propinsi paling timur Indonesia lengkap dengan busana dan nyanyiannya. Menyatu dan damai dalam satu waktu, tidak ada perasaan saling terganggu, dua kesenian berbeda yang dipertunjukkan dalam waktu dan tempat yang sama semakin menunjukkan Indonesia yang sesungguhnya. Atau bahkan inilah Yogyakarta yang sebenarnya, sebagai Kota budaya disinilah kebudayaan dengan bebas dipertunjukkan, dan sebagai kota pelajar tak dipungkiri dari jalanan inilah sebuah pelajaran mengenai wawasan nusantara, kebebasan berekspresi, dan harmonisasi kehidupan tak sengaja 'ter'tampilkan dalam area Nol Kilometer Yogyakarta. Lepas dari adanya upaya untuk mengkomersialkan kesenian daerah melalui kotak-kotak sumbangan yang diedarkan di sekitar panggung jalanan tersebut, namun akan melegakan jika akhirnya sebuah kesadaran akan pelestarian budaya Indonesia dan kebebasan berekspresi telah tampil dan diminati oleh Kota budaya.