02/08/09

Nol Kilometer..Untuk Kota Budaya yang Sebenarnya..

Kota budaya..jika dilihat dari peraduan katanya seharusnya memang lekat dengan segala hal yang berbudaya..memang begitulah kenyataannya, setiap sudut kota ini seolah merekam jejak perjuangan kebangkitan kota kala itu..
Yogyakarta, secara fisik memang tak jauh berbeda dengan kota-kota lain di sekitarnya..namun aura Yogya yang akhir-akhir ini berhasil menarik saya untuk kembali ke kota ini, menjadi satu yang tidak bisa disamakan dengan lainnya..

Keindahan ragawi sebuah budaya seringkali dapat disaksikan dan didokumentasikan. Namun lebih dari itu budaya mencakup pula nilai-nilai dan pola kehidupan dalam masyarakat. Mendekati makna budaya, mau tidak mau bayangan akan tari-tarian daerah, pakaian adat, maupun rumah dan senjata khas tiap daerah di Indonesia seringkali mendominasi pikiran kita. Dan memang, hal-hal itulah yang seringkali justru menjadi indikator dari seberapa berbudayanya sebuah kota. Paling konkrit dan mudah diamati, itulah alasan mengapa sebuah wujud kesenian paling banyak mendapat tempat di hati masyarakat akan makna kebudayaan yang sesungguhnya.

Yogyakarta sebagai pengusung jargon Kota Budaya tidak lepas dari hal-hal tersebut, tiap waktu akan mudah kita jumpai panggung jalanan yang bayak digelar di sudut-sudut kota yang berpotensi mejadi pusat perhatian.
Di persimpangan empat di Bantul, seringkali saya saksikan tari Jatilan atau semacamnya yang diperagakan oleh beberapa laki-laki dengan dandanan dan musik yang khas. Ada pula pagelaran wayang, yang tak jarang meramaikan halaman rektorat UGM maupun di UNY, dan yang paling sering dan mudah kita temui adalah berbagai pertunjukan musik atau tarian daerah dari seluruh nusantara di ujung Malioboro atau yang lebih dikenal dengan Area Nol Kilometer.

Coba datang, dan saksikan. Antusiasme masyarakat Yogyakarta dan pendatang seakan tidak pernah ada habisnya untuk mengapresiasi pertunjukan-pertunjukan seni jalanan ini. Yang terakhir saya alami, ruas jalan sepanjang Malioboro macet (1/8) akibat riuhnya suasana di Area Nol Kilometer dengan dua pertunjukan seni sekaligus. Tepat di depan Monumen Serangan 1 Maret atau di sebelah selatan Benteng Vredeburg berdiri sebuah panggung mungil yang mungkin hanya berkapasitas kurang dari 10 orang, namun demikian di depan panggung telah berjejal banyak penonton untuk menyaksikan tarian dan lagu-lagu daerah dari salah satu Propinsi. Kemudian tepat di seberang Jalan, atau di depan Gedung Agung yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari panggung sebelumnya, berlangsung tarian adat dari Propinsi paling timur Indonesia lengkap dengan busana dan nyanyiannya. Menyatu dan damai dalam satu waktu, tidak ada perasaan saling terganggu, dua kesenian berbeda yang dipertunjukkan dalam waktu dan tempat yang sama semakin menunjukkan Indonesia yang sesungguhnya. Atau bahkan inilah Yogyakarta yang sebenarnya, sebagai Kota budaya disinilah kebudayaan dengan bebas dipertunjukkan, dan sebagai kota pelajar tak dipungkiri dari jalanan inilah sebuah pelajaran mengenai wawasan nusantara, kebebasan berekspresi, dan harmonisasi kehidupan tak sengaja 'ter'tampilkan dalam area Nol Kilometer Yogyakarta. Lepas dari adanya upaya untuk mengkomersialkan kesenian daerah melalui kotak-kotak sumbangan yang diedarkan di sekitar panggung jalanan tersebut, namun akan melegakan jika akhirnya sebuah kesadaran akan pelestarian budaya Indonesia dan kebebasan berekspresi telah tampil dan diminati oleh Kota budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar