07/08/09

Beranjak dari kamar kos (bagian III)


Saya kembali berujar, inilah Yogya dengan segala fasilitasnya yang tak akan saya sia-siakan..
Berlokasi di Taman Budaya Yogyakarta yang terletak di area cagar budaya Benteng Vredeburg, kini saya berada dalam misi untuk beranjak dari kamar kos mencoba menikmati dunia baru yang selama ini terlewatkan. Kejenuhan dalam lingkungan akademisi, organisasi, dan melompat dari satu kepanitiaan ke kepanitiaan yang lain membuat saya tertarik untuk melihat sesuatu yang berbeda..maka malam ini saya berada di dalam komunitas dan pemikiran baru sebagai seorang awam. Jika selama ini pilihan hang out lebih berkisar pada tataran 'nongkrong' dan wisata ke objek-objek alam atau keramaian di pusat-pusat kota, kini saya beranjak masuk lebih dalam ke sebuah gedung budaya yang sedang menunjukkan eksistensi dunia perfiman Indonesia. Bukan XXI atau 21 yang kini menjadi tujuan saya, hanya sebuah gedung kuno yang dihias apik dan elegan.

Event yang bertajuk Jogja-NETPAC Asian Film Festival ini menginjak hari ketiga ketika saya tiba malam itu. Tujuan saya tak lain dan tak bukan untuk menyaksikan sebuah film yang mungkin tak banyak dikenal oleh kalangan pecinta film-film komersil. Sebuah film Indonesia yang mengambil judul Blind Pig Who Wants to Fly besutan seorang direktor yang kerap membidani film-film dokumenter.

Babi buta yang ingin terbang, sebuah film yang tidak mudah saya pahami. Alur cerita yang berubah-ubah, padat, dan memiliki banyak setting waktu atau tempat membuat saya sedikit kewalahan memcerna makna yang ingin disampaikan. Baru pada bedah film yang berlangsung kemudian kian menguatkan pemahaman saya akan makna yang ingin ditunjukkan. Sebuah film yang pada dasarnya menceritakan diskriminasi etnis di Indonesia, film berdasarkan kisah nyata seorang etnis Cina yang merasakan pahitnya realita hidup karena isu etnisitas yang kuat berhembus kala itu. Antara lain yang saya ingat, tampak adegan seorang anak Cina yang terus mendapat perlakuan buruk dari teman-temannya, dan secuil kisah tentang keinginan seseorang untuk 'menghilangkan' etnis Cinanya demi sebuah perlakuan yang lebih adil. Tak lepas dari jalan cerita yang cepat, kembali tampil adegan-adegan yang berisikan pesan mengenai kebingungan seorang etnis keturunan Cina di Indonesia serta ketakutan dan kemarahan akibat perlakuan diskriminasi yang diterimanya. Lingkungan yang tak banyak mendukung seolah menjadi trauma yang melekat bagi pelaku. Semakin menguatkan pesan moral yang ingin disampaikan, dicuplik pula berita-berita kerusuhan tahun 90an yang banyak memakan korban etnis keturunan di Indonesia.

Secara keseluruhan memang tidak begitu banyak adegan-adegan yang dapat saya artikan, namun tema besar yang melngkupinya cukup membuat saya terkesan dan terdorong untuk melihat lebih jauh realita hidup di Indonesia yang ketika itu sangat tidak manusiawi. Realita yang harus dialami oleh golongan minoritas di tengah lingkungan yang tidak menghendakinya.

Dalam benak yang masih terkaget-kaget akan realita yang baru saja ditunjukkan, saya coba menarik diri sejenak dan membayangkan situasi tersebut. Agak susah memang bagi saya yang terlahir sebagai etnis lokal Indonesia untuk memahami perasaan dan kepedihan etnis Cina kala itu. Namun cukup menjadi sebuah renungan di dalam diri saya akan fatalnya isu diskriminasi etnis, ras, agama atau apapun itu di dalam negara demokrasi seperti Indonesia. Fatal karena pada dasarnya diskriminasi hanyalah buah dari paham-paham yang berpikiran sempit yang hanya bertindak berdasarkan emosi sebagai wujud dari keangkuhan sebagian kecil pihak dalam negara yang sesungguhnya sangat menjunjung keanekaragaman budaya, latar belakang, ideologi dan lain sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar