Tak ada hal di dunia ini yang lebih kubanggakan daripada kemampuan untuk merasa, untuk bertahan hidup dan, ya, untuk memegang teguh apa yang kucintai dan kuyakini (Jodie Foster) Dan bagiku, mimpi adalah bagian dari itu semua, bagian dari apa yang kurasa, kupertahankan, dan kuyakini untuk mengantarku mengubah kemustahilan menjadi kemungkinan, keputusasaan menjadi tantangan, dan yang pasti untuk mengubah mimpi menjadi keajaiban..
09/08/09
M.O.C.H.I
Bukan tanpa alasan, Mochi menjadi inspirasi menulis saya kali ini. Seperti biasa, jika kantuk tak kunjung menyerang maka di depan layar komputerlah saya kembali datang. Dan kebetulan, tepat di depan saya terhidang satu keranjang Kue Mochi, oleh-oleh dari seorang teman. Entah karena rasa penasaran atau buah dari keisengan, akhirnya saya mencoba mencari tahu cikal bakal dari Kue ‘aneh’ nan kenyal ini.
Pada dasarnya rasa kue mochi yang manis tidak terlalu cocok di lidah saya, apalagi dengan taburan tepung yang bagi saya terasa hambar dan lagi-lagi ‘aneh’. Namun ketika beberapa jam belakangan keranjang Mochi selalu tertangkap mata saya, maka tak lama satu butir kue mochi sukses tertelan dengan indahnya. Dan seperti janji saya di awal, mari kita kuak misteri terpendam dari kue yang lekat dengan Negeri sakura ini.
Ketika kata 'mochi' saya ketikkan dalam kotak google, muncullah satu halaman Wikipedia dimana saya temukan kisah ‘seorang’ Mochi. Menurut sumber tersebut, kue mochi adalah satu dari beragam kue tradisional Jepang yang dalam bahasa mereka disebut sebagai Wagashi. Mochi merupakan satu dari beragam Wagashi yang menjadi penganan penyerta dalam upacara minum teh. Sebagai penyeimbang dari rasa teh yang pada umumnya pahit atau sepat maka dihidangkanlah Kue Mochi atau wagashi lainnya dalam rasa yang sangat manis. Dari sinilah kemudian banyak bermunculan wagashi sesuai musim yang sedang terjadi di Jepang. Perbedaan yang mencolok tiap wagashi dalam musim yang berlainan ditampilkan melalui warna dan bentuknya yang dianggap bisa mewakili warna alam di setiap musim tersebut. Walaupun demikian, seringkali dijumpai beragam wagashi sepanjang tahun tanpa peduli musim yang sedang terjadi.
Salah satu wagashi yang menjadi tokoh utama kali ini adalah Kue Mochi, kue dari bahan dasar tepung beras atau ketan ini memiliki bentuk bulat pipih yang seringkali disajikan di dalam keranjang bambu dengan logo yang bertuliskan huruf Jepang. Entah apa artinya yang jelas dari situlah muncul kekhasan tersendiri bahwa Mochi adalah Jepang, atau sebaliknya. Wujud mochi yang khas dengan balutan tepung memiliki pangsa pasar tersendiri di Indonesia, pamornya dikalangan wisatawan lokal ketika menginjakkan kaki di daerah yang disebut-sebut sebagai penghasil mochi sering mengalahkan potensi wisata di daerah tersebut. Sebagai buah tangan, mochi tidaklah mengecewakan. Keunikan pembungkusnya dan ke’anehan’ rasa Mochi menjadi ketertarikan tersendiri bagi konsumen penikmat Mochi.
Statusnya sebagai ‘pendatang’ dari negeri Jepang tak membuatnya kalah tenar dengan kue-kue tradisional asli dari Indonesia. Maka pertanyaan saya, adakah kue tradisional asli dari Indonesia yang bernasib sama dengan Kue mochi di negeri kita ini ? padahal jika ditimbang dari rasa, kue-kue tradisional Indonesia tak kalah nikmatnya dengan kue-kue khas luar. Kalau pasar luar negeri belum bisa menerima kue tradisional khas Indonesia sebagai penganan mereka, maka sudah sepantasnya kue-kue semacam putu, onde-onde, leupeut jagung, klepon, gethuk, dodol dan banyak ragam lainnya kita posisikan sebagai kuliner khas di tanah air yang layak dihidangkan di hotel-hotel berbintang atau rapat-rapat kenegaraan yang dihadiri oleh tamu-tamu asing. Dan usaha itu tampaknya telah banyak kita jumpai ketika beragam food promotion sering diselenggarakan di dalam maupun di luar negeri. Meskipun pada kenyataannya upaya tersebut belum cukup membuat Indonesia dikenal dengan ‘gethuknya’ atau ‘putunya’ dan lain sebagainya, namun usaha tersebut patut mendapat dukungan dari kita sebagai pewaris kekayaan nusantara. Jangan sampai kekayaan kuliner kita kembali diklaim oleh negara-negara lain hanya karena kita lengah akan potensi yang senyatanya ada di depan mata.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar