20/06/11

gara-gara orba (lagi) ?



Dalam kajian tugas akhir saya sebagai mahasiswa strata satu alias es-satu..persoalan masyarakat desa dan mekanisme pembangunannya menjadi makanan sehari-hari yang terus memenuhi pikiran saya..ada kalanya dengan yakin saya menulis bahwa budaya dan pilihan masyarakat-lah yang menjadi pemicu tergelincirnya mereka kedalam arus marginalisasi, namun suatu ketika dibolak balik dipikir dan direnungkan, tidak mungkin terbentuk sebuah kebiasaan/budaya jika tidak ada sarana yang semakin memperjelas bentuknya…bisa karena biasa,ya bgitulah...masyarakat begitu karena terbiasa…pertanyaannya, apa/siapa yang membiasakan masyarakat desa menjadi bermental ‘wong cilik’..??

Dirunut dari orde baru dulu, bisa jadi kebiasaan pemerintah untuk memanjakan masyarakat dalam urusan pembangunan turut berkontribusi menjadikan masyarakat bermental ‘terima jadi’..asal makmur tidak peduli substansi pemberdayaan dan berkelanjutan yang sebetulnya jauuh lebih penting..program-program di desa yang sebagian besar pemberian instan dan dalam jangka waktu singkat, seolah ingin merealisasikan janji orde baru untuk membuat masyarakatnya kenyang tanpa harus berdiri di kaki sendiri…negara erat mencengkeram seluruh sendi kehidupan tanpa terkecuali, hingga persoalan asasi yang kerap dibatasi..orde baru betul-betul berperan sebagai pelayan, menyediakan yang masyarakat butuhkan secara instan, menciptakan program bertarget singkat untuk hasil yang melimpah, dan menempatkan segala urusan hanya di tangan negara tanpa terbantahkan..alhasil, ada dua kemungkinan dan ada harga yang harus dibayar untuk semua ‘pelayanan’ tersebut..masyarakat menjadi bermental instan dan berorientasi hanya pada kuantitas atau hasil tanpa diringi usaha dan keberlanjutan..atau masyarakat menjadi manusia apatis yang semakin pragmatis dengan urusan negara/pembangunan dan semacamnya, karena selalu dihilangkan perannya di masa orde baru..tanpa sadar masyarakat semakin dijauhkan dari lingkaran kekuasaan yang menjadi elit-elit di jamannya..seolah hanya hidup untuk diam dan duduk tenang, pemerintah dan pamongnyalah yang bekerja..enak? tidak selalu, nyatanya kini kenikmatan tersebut berbuah pahit..pragmatisme dan apatisme masyarakat untuk ikut berperan dalam urusan negara/pembangunan terus mengemuka..ganjalannya ada pada budaya masyarakat ‘desa’ yang masih enggan untuk turut bergerak ketika dirasa sudah ada pamong-pamong/elit-elit yang bekerja..
”wes ana sing luwih pinter..”, kata mereka..
ungkapan bernada merendah atau tak peduli..? nyatanya, masyarakat desa masih terperdaya dengan segelintir kalangan dengan embel-embel jabatan ‘ketua….’ atau ‘tokoh…’. Tak mengira jaman terus beranjak, hingga tuntutan untuk perubahan semakin menjadi…masyarakat aktif harus bergerak, bersinergi, dan berdaya…meskipun nyatanya, yang namanya budaya tetap saja menjadi rule yang sulit tergoyahkan..meskipun dengan beragam argumen akademis, dialogis, dan –is –is lainnya…
’sing jenenge tani ki mung macul wae gaweane, ora rumangsa kudu teka yen ana rapat ning bale desa..urusan negara wes ana sing ngurusi, ora arep melu-melu…’
Melanjutkan dari pejuang dan penggerak perubahan lainnya…ke-sekian ribu kalinya saya turut berwacana..lepaskan masyarakat dari doktrin dan janji-janji pembangunan yang terus memabukkan..giring masyarakat untuk peka terhadap perubahan, dan dekatkan masyarakat pada usaha yang berkelanjutan..catatan di atas bukan memposisikan orde baru sebagai masa kelam, tapi masa pembelajaran yang amat berharga untuk hanya sekedar dikenang..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar